Saturday, December 30, 2017

Dua Sifat Kebajikan Dalam Budaya Tionghoa : Yang De 陽德 &, Yin De 陰德

Dua Sifat Kebajikan Dalam Budaya Tionghoa : Yang De 陽德 &, Yin De 陰德
 Written by  伯通周  


Budaya-Tionghoa.Net | Dalam budaya Tionghoa dikenal dua sifat kebajikan, yang pertama disebut Yang De 陽德dan yang kedua disebut Yin De 陰德. Untuk bisa memahami apa yang dimaksud Yang De dan Yin De, saya artikan Yang De adalah kebajikan positiva dan Yin De adalah kebajikan negativa.

Artikel Terkait :

{module [201]}

Yang De adalah kebajikan yang bisa dilihat dan diketahui oleh banyak orang, sebagai contoh adalah menyumbang dan namanya dicantumkan sebagai penyumbang.

Banyak orang yang beranggapan bahwa menyumbang dengan pencantuman nama adalah tindakan ingin dipuji, bisa benar bisa tidak. Tapi dengan pencantuman nama bisa menggerakkan hati orang lain yang kebetulan mengenal orang tersebut sehingga pencantuman nama jangan selalu dianggap buruk.

Yang De bisa berupa memberikan makanan bagi kaum fakir miskin, menyumbang panti asuhan. Yang De berarti sikap berlaku bajik yang dapat dilihat oleh banyak orang dan bisa mengandung harapan agar dipuji. Dan dari segi spiritual, Yang De bisa berarti hanya untuk manusia aja, tidak berlaku untuk mahluk lain dan bisa mendapat balasan seperti ucapan terimakasih, kekaguman masyarakat banyak.


Yin De adalah kebajikan yang tidak diketahui oleh orang banyak, tidak diekspose dan tidak berharap imbalan apapun termasuk pujian. Sebagai contoh sederhana adalah memperbaiki jembatan, memperbaiki jalan rusak dan tidak dicantumkan nama yang memperbaiki.

Mendoakan orang lain yang sedang kesusahan juga bisa disebut Yin De, misalnya ada teman yang menderita, kita doakan saja tanpa perlu diketahui oleh orang banyak. Yinshi 隱士adalah pelaku Yin De yang tidak diketahui orang banyak dan selalu menyembunyikan tindakan menolong orang lain.

Dari segi spiritual, Yin De bisa berlaku untuk semua mahluk, misalnya merawat bumi, mendoakan mahluk-mahluk yang ada di alam lain dan tidak selalu mendapatkan ucapan terimakasih dan masyarakat banyak belum tentu tahu apa yang dilakukan.


Yang De bisa dikatakan cinta kasih yang masih terbatas sedangkan Yang De adalah cinta kasih yang tidak terbatas, karena itu banyak orang yang mencoba memupuk Yin De, bahkan dalam bahasa mandarin sering disebut jiyinde 積陰德 yang sering diartikan memupuk karma baik, sebenarnya yang dimaksud adalah Yinde.


Kebajikan Yinde yang tidak ingin mendapatkan balasan itu dikenal juga dibanyak kepercayaan lainnya, jadi tidak hanya budaya Tionghoa mengenal itu. Hanya saja sepanjang pengetahuan saya, hanya agama-agama timur yang mengembangkan Yin De itu hingga pada para mahluk yang ada di alam lain dan juga pada alam.



Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua

Monday, December 25, 2017

Taiyi Jiuku Tianzun 太乙救苦天尊

Written by  Zheng Xuanyuan

sumber : http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2685-taiyi-jiuku-tianzun-%E5%A4%AA%E4%B9%99%E6%95%91%E8%8B%A6%E5%A4%A9%E5%B0%8A
Budaya-Tionghoa.Net | Taiyi Jiuku Tianzun (Maha Dewa Taiyi Penolong Kesengsaraan; 太乙救苦天尊) dikenal juga sebagai Xunsheng Jiuku Tianzun (Maha Dewa Yang Mendengar dan Menolong Kesengsaraan; 尋聲救苦天尊), dan Shifang Jiuku Tianzun (Maha Dewa Penolong Kesengsaraan di Sepuluh Penjuru; 十方救苦天尊).

 Menurut naskah suci Taiyi Hushen Jiuku Jing (太一護身救苦經), Taiyi Jiuku Tianzun merupakan Yang Maha Berkebajikan dari Istana Surga Kebahagiaan Abadi Langit Timur (Dongfang Changle Shijie; 東方長樂世界).
Beliau dapat muncul dimanapun, di Istana Surga, Alam Manusia, juga di Alam Neraka di antara para Setan Hantu sebagai yang berkuasa atas mereka. Taiyi Jiuku Tianzun dapat dengan mudah menjelma sesuai tanggapan dari jenis makhluk yang akan beliau selamatkan, sebagai Jaka Emas dan Gadis Giok, Dewa Raja dan Orang Suci, Maha Dewa dan Manusia Sempurna, Vajra dan Raja Suci, Raja Iblis dan Dewa Pelindung yang kuat, Guru Langit dan Taois, Bangsawan dan Para Bijaksana, Tabib Dewa dan Pejabat, Pria dan Wanita, Pejabat Sipil dan Militer, Guru Dharma dan Pertapa, Penguasa Angin dan Hujan.
Beliau mempunyai kemapuan dan kekuasaan yang sangat luar biasa. “Beliau yang suci ini dinamakan Taiyi Fushen (太乙福神) di alam surga, Daci Renzhe (大慈仁者) di alam manusia, Riyao Dijun (日耀帝君) di alam neraka, Shizi Mingwang (獅子明王) di antara para bidaah, dan Dongyuan Dijun (洞淵帝君) di alam surga air.”
Fungsi/Tugas dan Pemujaan Taiyi Jiuku Tianzun
Berdasarkan naskah suci Taishang Sandong Biaowen (太上三洞表文), ada berjumlah sembilan Maha Dewa: Taiyi Jiuku Tianzun (太乙救苦天尊), Shifang Jiuku Tianzun (十方救苦天尊), Jiuyou Duzui Tianzun (九幽度罪天尊), Zhuling Duming Tianzun (朱陵度命天尊), Huolian Danjie Tianzun (火煉丹界天尊), Faqiao Dadu Tianzun (法橋大度天尊), Jinque Huashen Tianzun (金闕化身天尊), Xiaoyao Kuaile Tianzun (逍遙快樂天尊), Baohua Yuanman Tianzun (寳華圓滿天尊).
Taiyi Jiuku Tianzun adalah yang pertama dan merupakan kepala diantara mereka. Tugas dan wewenang beliau adalah “Menyelamatkan makhluk hidup dengan kesucian dan kebajikan tertinggi, cinta dan welas asih yang sangat besar, dengan mengendarai tunggangan dewata/Vahana berupa sembilan singa dan memancarkan sinar keberuntungan dari ribuan pusaka.”
Menurut legenda, seseorang yang sedang dalam kesusahan hanya perlu memanjatkan nama Taiyi Jiuku Tianzun, dan ia akan segera mendapatkan pertolongan dan bantuan sebagai tanggapan dari permohonannya tersebut. Bagi mereka yang telah mengumpulkan jasa kebaikan dengan sempurna, maka Taiyi Jiuku Tianzun akan turun menampakkan diri dengan mengendarai kereta tunggangan sembilan singa dengan memancarkan cahaya keberuntungan ribuan pusaka, memandu mereka menuju alam keabadian.
 Kuil Taois pada umumnya mempunyai Aula Taiyi (太乙殿) dimana rupang dari Taiyi Jiuku Tianzun dipuja. Beliau selalu digambarkan sebagai seorang Maha Dewa yang mengendarai seekor singa.
Hanya pada saat festival perayaan Tiga Yuan (San Yuan Jie; Sam Goan Kiat) sajalah, atau pada waktu ketika Ritual Penyelamatan dari Register Kuning (黃籙煉度科), Taiyi Jiuku Tianzun dipuja.
Semenjak zaman dinasti Song dan dinasti Yuan, banyak ritual Taois menempatkan Taiyi Jiuku Tianzun sebagai dewa utama (教主), seperti Taiyi Jiuku Tianzun Shuo Badu Xiehu Baochan (太乙救苦天尊說撥度血湖寳懺; Ritual Pertobatan Agung Penyelamatan dari Neraka Danau Darah oleh Taiyi Jiuku Tianzun),Lingbao Liandu (靈寳煉度; Ritual Penyelamatan dan Penyucian Lingbao), Jiuyou Dengyi (九幽燈儀; Ritual Lentera Penyelamatan dari Neraka Sembilan Tingkat).
Dalam ritual-ritual tersebut, selain menyeberangkan makhluk hidup, Taiyi Jiuku Tianzun juga bertanggung jawab memurnikan jiwa si mati dengan air dan api sejati, menyucikan Neraka Danau Darah, menyelamatkan jiwa pendosa dari neraka, dan lain sebagainya.

天運戊子年八月十二
鄭玄原重譯

Dewa Fazhugong 法主公


  •  Written by  Liu Wei Lin
Fazhugong gelarnya yang lengkap adalah Du Tian Dang Mo Jian Lei Yu Shi Zhang ShengFa Zhu Zhen Jun (都天荡魔监雷御史张圣法主真君) disingkat menjadi Fa Zhu Sheng Jun ( 法主圣君), Du Tian Sheng Jun ( 都天圣君) , biasa disebut dengan Fazhugong ( 法主公) ,orang Hakka menyebutnya sebagai " Shin Kiun Ya ( shengjunye 圣君爷). adalah salah satu dewa kepercayaan orang Han ( tionghoa ) didaerah Fujian, Taiwan, dan Guangdong sekitarnya,dan juga sebagai salah satu dewa yang dihormati dan dipuja dalam Taoisme mazhab Zhengyi ( 道教正一道) , dan ada juga orang memasukannya kedalam kelompok aliran Taoisme yang tercampur dengan buddhisme yakni aliran Lvshan (道教闾山派) . Umat di daerah Fujian dan Guangdong percaya bahwa dewa Fazhugong memiliki tugas sebagai dewa yang mewakili Hao Tian Shang Di ( Penguasa alam Dewa ) untuk mengawasi umat manusia, dimana setiap terjadi gerhana bulan akan melaporkan kejahatan dan kebaikan umat manusia di dunia ini ke istana langit, kemudian menghukum orang jahat, menangkap iblis jahat. Kepercayan kepada Dewa Fazhugong populer di daerah Fujian, terutama di Fuzhou, Quanzhou, Zhangzhou, serta daerah Guangdong seperti Chaozhou, Meizhou dll. Kepercayaan terhadap Fazhugong dimulai pada abad ke 17 dimana dimulai dari kota Anxi ( Fujian) kemudian menyebar ke Taiwan, terutama di kota Taipei. Kota Kaohsiung didistrik Meinong merupakan daerah yang utama bagi orang Hakka memuja dan percaya kepada dewa Fazhugong.

Sejarahnya
menurut penelitian, Fazhugong terdiri dari tiga bersaudara angkat yakni Zhang Ciguan 张慈观, Xiao Langrui 萧朗瑞 dan Zhang Langqing yang disebut Fazhu san gong “法主三公” ,yang merupakan tiga maha dewa Taoisme yang terkenal kesaktiannya. akan tetapi legenda yang lebih umum dalam masyarakat orang Han ( tionghoa ) hanya menunjuk pada Zhang Ciguan sendiri saja sebagai Fazhugong.
Zhang Ciguan 张慈观,nama kecilnya adalah Ziguan 自观,nama lainnya Sha 沙, merupakan seorang Taoist dari daerah Yongtai , dipropinsi Fujian ( 福建永泰县) ( ada yang mengatakan berasal dari Minqing , Fuzhou 闽清) yang hidup pada tahun 1024 sampai 1069,alkisah Taoist Zhang Ciguan semasa hidupnya memiliki kesaktian untuk membasmi dan menundukan setan dan siluman . pada masa Kaisar Qianlong terdapat catatan dari daerah Dehua 《德化县志》mencatat tentang kesaktian Zhang Ciguan membasmi siluman di gunung Shiniu ( 炼性于蕉溪山石鼓岩,见石牛山夜火晶荧,知有魈魅,因往其处。魅方于人家迎妇,舆徒甚盛。观出掌,令人从指缝窥之,魅悉现形).
Zhang Ciguan pernah dibawah bantuan saudara angkatnya, masuk kedalam kolam sembilan naga ( 九龙潭) yang berada didalam goa yang ada di gunung shiniu ( 石牛洞 goa kerbau batu) , dengan pedang telah membunuh siluman ular beracun yang telah lama menganggu masyarakat Yongchun, Fujian ( 福建永春), oleh karena itu dibanyak kelenteng ( kuil ) yang menghormati dan memuja dewa Fazhugong, biasanya rupang dewanya dimana satu tangan membawa pedang,satu tangannya lagi mengengam ular. Kesaktian Zhang Ciguan 张慈观 sangat terkenal, itu dikarenakan jasa beliau membasmi siluman ular yang mengganas dan menganggu masyarakat, sehingga dianggap mahadewa pembasmi setan dan siluman, setelah meninggal oleh masyarakat setempat dihormati sebagai seorang dewata. Berhubung karena kesaktian dan ilmu yang dimiiki sehingga beliau dihormati dengan sebutan " Fazhugong". konon kabarnya, kaisar Wu dari dinasti MIng 明武宗 pernah menganugrahkan kepada Zhang Ciguan gelar yakni Zhang Sheng Fa Zhu Zhen Jun “张圣法主真君”。
Di aliran Taoisme Lvshan terdapat pendapat yang mengatakan bahwa lima jenderal dewa pelindung Taoisme ( 护法神五营神将) dimana Jenderal Dewa sektor /arah timur adalah jenderal Zhang, jenderal Zhang inilah " Fazhugong"; sektor pusat yang merupakan pusat komando adalah dewa Nezha 哪吒太子 .
( sumber foto : Trifina Guo)

‘Si 寺’, Bukan Hanya Vihara


  •  Written by  Ardian Cangianto, Liu Weilin, Djoni Chingik
  •  
Budaya-Tionghoa.Net |Salah satu tujuan wisata di Kota Luoyang adalah Vihara/Klenteng Kuda Putih (Baimasi 白馬寺). Vihara tersebut didirikan pada tahun 68 masehi dan merupakan Vihara Buddisme pertama dan masih bertahan hingga kini. Dari vihara tersebut, agama Buddha berkembang pesat di China.
Nama Baimasi 白馬寺diambil dari nama tunggangan kedua bikshu penyebar agama Buddha itu sebagai rasa hormat mereka terhadap kuda yang ditunggangi. Nama bikshu penyebar agama Buddha itu tak lain 迦葉摩騰 (Kasyapa Matanga) dan 竺法蘭 (Dharmaraksha/Gobharana). Teks Buddha pertama yang mereka terjemahkan adalah 四十二章經 (Sutra Empat Puluh Dua Bagian) berisi teks ajaran Buddhisme Awal (non-Mahayana).
WhiteHorseTemple.jpg
Dari kata ‘si’ yang tercantum pada nama Baimasi, dimulailah penggunaan kata ‘si 寺’ sebagai tempat ibadah bagi Buddhisme. Padahal pada zaman Donghan (Han Timur), ‘si 寺’ adalah nama tempat/bangunan untuk para duta dari Negeri Barat. Jadi, agama import yang bersemayam di China pada waktu itu menggunakan bangunan yang dinamakan ‘si 寺’ sebagai tempat tinggal dan kegiatan mereka. Contoh tempat dari agama lain yang menggunakan kata ‘si’ ini adalah Qingzhensi 清真寺 yang merupakan sebuah masjid. Selain itu pada masa Han Wudi, ada sebuah departemen bernama Honglusi 鸿胪寺seperti yang tercantum pada kutipan berikut:
鸿胪寺,中国古代官署名。
汉朝改秦代典客为大行令,汉武帝时又改名大鸿胪。鸿胪,本为大声传赞,引导仪节之意。大鸿胪主外宾之事。至北齐,置鸿胪寺,后代沿置。南宋、金、元不设,明清复置,主官为鸿胪寺卿。主要掌朝会仪节等[1].
Honglusi adalah bagian setingkat direktorat di bawah departemen 尚書省. Penyambutan tamu adalah salah satu bagian dari tugas Honglusi ada tugas-tugas lain dari Honglusi yang bisa jadi berbeda pada setiap dinasti/pemerintahan. Namun demikian, diakui bahwa Buddha yang lebih banyak, sehingga pada akhirnya, kata tersebut diidentikkan dengan Buddhisme.
Singkatnya, sejak masa Dinasti Sui hingga awal Dinasti Tang, sistem administrasi Buddhisme dan Taoisme yang dikelola lembaga keagamaan Chongxuan (崇玄署) berada di bawah naungan [setingkat] direktorat Honglu (鴻臚寺). Setelah mengalami beberapa kali perubahan struktur, maka hingga masa Kaisar Tang Xuanzong (唐玄宗) era Kaiyuan, kewenangannya dipegang langsung oleh Direktorat Honglu dan Direktorat Ritus (祠部) yang berada di bawah Departemen Urusan Negara (尚書省—Shangshu Sheng). Tanda identitas diri anggota monastik diperbarui setiap 3 tahun sekali, dan datanya disimpan di Direktorat Honglu dan Direktorat Ritus. Ini merupakan pusat pengelolaan administrasi agama dari Dinasti Tang. Hal-hal yang berkaitan dengan penunjukan organisasi Buddhis dan Taois yang terhormat adalah bagian dari wewenang direktorat Honglu, sedangkan direktorat ritus dari departemen urusan negara merupakan lembaga yang mengeluarkan instruksi-instruksi [terkait].

Rangkuman diskusi pada grup Facebook Budaya Tionghoa, Desember 2015.
Oleh : Ardian Cangianto, Liu Weilin, Djoni Chingik

Karakteristik Taoisme Sekte Zhengyi 道教正一派的特色 30 January, 2015 Written by Zhang Xingfa font size decrease font size increase font size Print Email Share Karakteristik Taoisme Sekte Zhengyi 道教正一派的特色 oleh : Master Zhang Xingfa 張興發道長 Sekte Zhengyi adalah salah satu sekte besar di Taoisme yang memiliki sub sekte seperti Longhu, Maoshan, Jingming, Gezhao, Lingbao, Qingwei dan lain-lain, pembentukan format Zhengyi selesai pada masa dinasti Yuan. Sekte Zhengyi pada awalnya berasal dari dao “Zhengyimengwei”yang dibangun oleh Zhang Daoling.Apa arti Zhengyi正一 ?Sesepuh Zhang Tianshi menerima ajaran Tao “Zhengyi Mengwei”正一盟威 dari Taishang Laojun. Tapi kenapa menggunakan kata Zhengyi ?Apa makna yang terkandung dalam Zhengyi ? Dalam Kitab “Yunji Qiqian”: “Yang utama dari Zhengyi 正一( Kebenaran yang satu ) adalahzhenyi 真一(Kesejatian yang satu )”. Dalam kitab Tao, arti kata kebenaran adalah “mengobati yang jahat dengan kebenaran”, sisi lain dari kebenaran adalah kesesatan, dengan kebenaran menaklukkan semua yang jahat. “satu”adalah “satu yang menyatukan laksa benda”, Daodejing mengatakan, “Dao melahirkan satu, satu melahirkan dua, dua melahirkan tiga, tiga melahirkan laksa benda”. “Satu”ini adalah awal“bentuk tampak”( fisik/tangible/yang tampak ) dari Dao, dan Dao adalah asal dari segalanya. Karena itu “satu” ini yang bisa mepersatukan.Karena itu Zhengyi adalah Dao yang kita jalankan adalah dao kebenaran dan dao kesejatian dan tujuannya adalah kebenaran dan kesejatian真正. Guru langit Lu Xiujing 陆修静pernah mewanti-wanti murid-muridnya,”Ajaran yang benar adalah yang menerima Laojun dan tiga guru.”, dengan kata lain menjalankan tindakan yang benar dan ucapan yang benar. Apa yang disebut Zhengyi, sesungguhnya disarankan juga untuk mengcounter yang jahat, karena pada masa Zhang Daoling mendirikan agama, di pedalaman masih beredar ajaran dan ilmu sesat yang menyesatkan rakyat jelata.Kitab Tao menuliskan bahwa pada masa itu siluman dan kejahatan merajalela, masyarakat menggunakan ilmu yang salah, bukan dao yang sejati.” Zhang Daoling mendirikan agama Dao, karena diperlukan ajaran yang benar untuk membimbing semuanya, agar semua bisa bertisarana pada kepercayaan yang benar, dengan Zhengyi ( kebenaran yang satu ), dengan inti dalamnya adalahzhenyi ( kesejatian yang satu ).Dalam kata pengantar di kitab “Dua puluh empat wilayah administrasi” dikatakan bahwa, dao Zhengyi mengwei dari Zhang Tianshi adalah “ajaran kebenaran (zhengjiao正教) pewaris Tiga Langit统承三天untuk membantu negara mengedukasi rakyat,menghukum dan membasmi yang sesat dan jahat,merapihkan kembali kepercayaan-kepercayaan rakyat yang ada di pedesaan agar menjadi benar. Pewaris Tiga langit bermakna bahwa kepercayaan Zhengyi berasal dari Sanqingdaozu ( Yuanshi tianzun, Lingbao tianzun, Daode tianzun ).Makna mengwei 盟威 artinya adalah kita membuat sumpah dengan laksa dewata, menerima dan menjaga ajaran kebenaran, tidak terjatuh pada pandangan yang sesat, tidak menduakan kesejatian yang esa. Dalam pujian untuk Zhang Daoling yang dibuat oleh kaisar Tang Daizong ( 726-779 )dikatakan,”Hati dao yang tidak mendua, itulah yang disebut Zhengyi.”Dengan kata lain, kita yang percaya pada agama Tao, bertisarana di bawah ajaran Tianshi (Zhang Daoling ), sudah seharusnya “hati dao yang tidak mendua”(道心不二 ).Umat agama Tao yang sudah tisarana, terutama yang melalui “penganugrahan registrasi”shoulu授箓, menjadi fashi法师, dashi大师 ( guru), jika semua pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan semangat Dao yang benar, mereka tidak bisa “hati dao yang tidak mendua”, dan melawan makna dalam dao itu. Guru langit ke 43, Zhang Ningchu menekankan “kesejatian yang esa tidak mendua”真一不二, dan memiliki dua makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, esensi ajaran dari Taishang laojun adalah “kesejatian yang esa tidak mendua”, dan itulah yang menjadi tujuan umat Tao.Yang kedua adalah, tidak boleh membiarkan hal-hal yang sesat ada dalam diri kita.Karena itulah kita sebagai umat aliran Zhengyi harus faham bahwa kata Zhengyi ini bukan sekedar nama tapi mengandung makna yang mendalam, sebuah ide dan semangat (spirit ) yang abadi dan itu adalah semangat Daozu ( Taishang laojun / Laozi ), semangat kitab Daode jing,tidak hanya semangat agama Tao saja tapi juga semua umat manusia dan harus direalisasikan;itu adalah memakmurkan negara mensejahterakan manusia, memberikan sumbangsih pada semua umat manusia, masyarakat dan negara. Pencarian kebenaran sejati, pengetahuan yang terunggul mengenai hakekat alam semesta ini bisa didapatkan melalui politik, ekonomi bahkan sastra, seni bahkan hingga teknologi yang canggih. Jadi dengan kata lain, umat Tao aliran Zhengyi tidak menjebakkan diri pada kesaktian atau hal-hal yang bersifat mistis karena kebenaran sejati itu ada dimana-mana. 3 proses lahirnya sekte Zhengyi : 1.Sekte Longhu 龙虎宗sebagai inti dari sekte Zhengyi, sudah terbentuk dengan kepemimpinan dari keturunan Zhang Daoling sebagai pemimpin. Terbentuknya sekte Longhu ini sekitar pada akhir dinati Tang. Pada masa dinasti Song, sekte Longhu dengan sekte Maoshan dan Gezao disebut “tiga gunung talisman 三山符箓”, kerajaan Song pada masa itu memperlakukan sederajat untuk tiga aliran ini.Sebutan guru langit untuk keturunan Zhang Daoling, itu hanya sebutan dari umatnya, atau sebutan dari rakyat jelata, pihak pemerintah belum mengakui sebagai Tianshi, bahkan kaisar Song Zhenzong dan Song Huizong yang menjunjung tinggi agama Tao juga hanya menganugrahi gelar “xiansheng”先生 pada keturunan Zhang Daoling. Hingga pada masa dinasti Yuan, terjadi perubahan situasi yang amat besar. Orang Mongol yang menguasai daratan Tiongkok,tentunya melakukan kekuatan politik untuk melindungi kekuasaan dan kepemimpinannya.Tapidemi memenangkan hati rakyat dan melemahkan semangat perlawanan rakyat, mau tidak mau menggunakan cara-cara pendekatan ideology, terutama adalah agama sebagai pelengkap kekuatan politiknya. Selain menggunakan agama Buddha, agama Tao juga digunakan, pada awalnya mendukung sekte Quanzhen, tapi saat menguasai wilayah Jiangnan,maka yang disokong adalah sekte Longhu dan membatasi kegiatan Quanzhen, hal ini dilakukan karena pengaruh keturunan Zhang Daoling di wilayah itu amat kuat.Selain masalah politik, orang Mongol yang pada umumnya beragama Shaman[1]yang memiliki banyak kesamaan dengan agama Tao.Karena itu saat Yuan Shizu ( Kubilai Khan ) menguasai daerah Jiangnan,keturunan Zhang Daoling dengan sekte Longhunya mendapatkan perlakukan istimewa. Mulai tahun 1276 Kubilai Khan hingga akhir dinasti Yuan, dari Zhang Zongyan keturunan Zhang Daoling ke 36 hingga Zhang Zhengyan keturunan ke 41 dari Zhang Daoling, setiap generasinya diberi gelar Tianshi ( guru langit ), Zhenren ( manusia sejati ) atau dazhenren ( manusia sejati yang agung ).Mereka yang diberi gelar Tianshi mendapat perintah kerajaan untuk mengatur dan mengurus berbagai sekte Tao di Jiangnan.Gelar anugrah tianshi ini adalah mahkota kemenangan yang berharga dan memiliki kekuasaan yang nyata. Dengan dukungan dinasti Yuan, maka sekte Longhu menguat dan menjadi berpengaruh besar terutama pada sekte-sekte fulu lainnya dan dengan demikianlah,keturunan tianshi secara alamiah menjadi pemimpin berbagai aliran fulu di Jiangnan, dan sekte Longhu juga menjadi inti dari dari berbagai sekte fulu lainnya. Ini adalah pembentukanpersiapan yangnantinya menjadi inti kepemimpinan sekte Zhengyi. 2. Sejak bergenerasi tianshi ( guru langit ) mendapatkan posisi yang penting dalam Taoisme, sekte Longho juga memperoleh syarat dan kondisi yang menguntungkanperkembangannya , membuat terbentuknya fondasi organisasi. Sesungguhnya, perkembangan sekte Longhu pada masa dinasti Yuan, tidak hanya melampaui perkembanganya di dinasti apapun, juga perkembangannya melampaui berbagai sekte ful lainnya.Selain gunung pusat yaitu gunung Longhu yang menjadi lebih jaya yang tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya, skala perkembangan cabang-cabang Longhu juga sangat menonjol.Biara-biara Tao bertebaran di Jiangsu, Zejiang, Jiangxi, Hunan, Guangdong dan berbagai daerah lainnya juga di wilayah Beijing.Perkembangan organisasinya tidak dapat ditandingi oleh sekte fulu manapun, sehingga berbagai sekte fulu lainnya berkumpul dalam lingkup sekte Longhu yang menjadi persiapan pembentukan fondasi yang membentuk satu sekte besar yaitu sekte Zhengyi. 3. Semua aliran fulu 符箓[2] memiliki banyak kesamaan, baik dari segi keilmuan, doktrin,perbauran pemikiran mereka sejak awal sudah ada,sehingga memudahkan untuk saling menyerap dan menerima dalam segi organisasi menjadi semakin matang.Tapi pada masa dinasti Yuan, karena generasi Tianshi yang menjadi pemimpin berbagai aliran di agama Tao, hubungan antar sekte semakin sering, hingga perbauran itu semakin meluas dan mendalam. Misalnya Wu Quanjie dari Xuanjiao belajar pada Lin Lingzhen dari sekte Donghua, juga belajar pada Lin Qi dari Nanzong.Zhao Siqi dari sekte Maoshan belajar pada Wang Shouyan dari Xuanjiao, Zhang Daogui, Ye Yunlai dari sekte Wudang Quanzhen belajar pada Huang Sunshen dari sekte Qingwei.Xu Yi dari sekte Jingming belajar pada Lan Daoyuan dari sekte Quanzhen dan masih banyak contoh lainnya.Saling belajar dan saling berbaurnya berbagai sekte fulu, menjadi syarat siapnya pembentukan sekte Zhengyi dari segi pemikiran.Pertukaran dan peleburan dari pemikiran dan ilmu ini, maju selangkah lagi yang membimbing berbagai aliran itu kembali dan menyatu.Misalnya sekte Taiyi, sekte Xuanjiao, Donghua, Qingwei selatan yang melebur dengan sekte Zhengyi, dan Qingwei utara melebur dengan sekte Quanzhen.Ini menunjukkan bahwa pada masa pertengahan dan akhir dynasty Yuan itu peleburan berbagai sekte fulu ke dalam sekte Zhengyi secara perlahan tapi pasti bergabung menjadi satu. Sebagai tandanya, pada tahun pemerintahan dade ke 8 kaisar Yuan Chengzong ( 1304 ), menganugrahkan Zhang Yucai tianshi generasi ke 38 menjadi “Zhengyi jiaozhu” 正一教主[3] , mendekralasikan berdirinya sekte Zhengyi. Ciri khas sekte Zhengyi adalah : Pertama, semua keturuan Zhang Daoling menjadi pemimpin. Sejak tianshi ke 38 Zhang Yucai menjadi “Zhengyi jiaozhu”,jabatan ini dilanjutkan oleh keturunan tianshi. Walau penganugrahan gelar sebagai tianshi ini dihapuskan pada masa dinasti Ming dan Qing, nama Zhengyi jiaozhu juga bukan anugrah dari kaisar, tapi bagi umat-umatnya adalah hal yang wajar untuk tetap menjadikan keturunan Zhang Daoling sebagai pemimpin mereka. Kedua, dari segi organisasi, karena terjadinya penggabungan itu asalnya dari berbagai sekte fulu baik yang lama maupun yang baru.Termasuk sekte Longhu, Maoshan, Gezao, Taiyi, Jingming, juga sekte Shenxiao, Qingwei, Donghua, Tianxin dan berbagai sekte kecil lainnya.Organisasinya lebih kendor.Setelah menjadi sekte besar, yang asalnya sekte kecil atau karena kurangnya pewaris kemudian melebur dalam sekte besar, pewarisan di sekte-sekte kecil tetap seperti dahulu, tapi menjadikan Tianshi sebagai yang utama.Misalnya sekte Longhu, Jingming, Qingwei dan lain-lain, hingga saat ini pewarisannya tidak terputus. Ketiga, Kitab yang dihormati dan dijunjung bersama adalah kitab “Zhengyi jing”正一经, dengan ilmu utama adalah talisman, menjapa mantra,qirang zaijiao[4]. Keempat, Daoshi ( pendeta Tao ) boleh tidak tinggal di biara, boleh menikah dan memiliki keturunan[5], mereka ini disebut “huoju daoshi” 火居道士.Lingkup biaranya dibandingkan biara Quanzhen itu lebih kecil, sila dan aturannya juga tidak ketat. [1]Ada kesalahan persepsi yang cukup mengganggu dengan arti kata shaman.Umumnya orang mengartikan shaman adalah dukun, tapi sesungguhnya itu adalah kepercayaan atau agama yang berkembang dari wilayah Manchuria hingga Mongolia dan dianut oleh banyak suku-suku diluar suku Han, misalnya orang Manzu, orang Tuqie, Mongol.Hingga kini agama ini tetap memiliki penganutnya. [2]Aliran Zhengyi kadang disebut aliran fulu atau talisman. [3] Jiaozhu : pendiri sekaligus juga pemimpin yang tertinggi [4]Ritual untuk mendoakan agar negara tentram, bencana menyingkir, berdoa memohon berkah dan rahmat, menolak semua bencana, mengusir setan menaklukkan siluman demi ketentraman umat manusia. [5]Hidup selibat dan tinggal di biara untuk daoshi aliran Zhengyi adalah pilhan bukan kewajiban.

Karakteristik Taoisme Sekte Zhengyi 道教正一派的特色

  •  Written by  Zhang Xingfa

Karakteristik Taoisme
Sekte Zhengyi
道教正一派的特色
oleh : Master Zhang Xingfa 張興發道長

Sekte Zhengyi adalah salah satu sekte besar di Taoisme yang memiliki sub sekte seperti Longhu, Maoshan, Jingming, Gezhao, Lingbao, Qingwei dan lain-lain, pembentukan format Zhengyi selesai pada masa dinasti Yuan.
            Sekte Zhengyi pada awalnya berasal dari dao “Zhengyimengwei”yang dibangun oleh Zhang Daoling.Apa arti Zhengyi正一 ?Sesepuh Zhang Tianshi menerima ajaran Tao “Zhengyi Mengwei”正一盟威 dari Taishang Laojun. Tapi kenapa menggunakan kata Zhengyi ?Apa makna yang terkandung dalam Zhengyi ? Dalam Kitab “Yunji Qiqian”: “Yang utama dari Zhengyi 正一( Kebenaran yang satu ) adalahzhenyi 真一(Kesejatian yang satu )”. Dalam kitab Tao, arti kata kebenaran adalah “mengobati yang jahat dengan kebenaran”, sisi lain dari kebenaran adalah kesesatan, dengan kebenaran menaklukkan semua yang jahat. “satu”adalah “satu yang menyatukan laksa benda”, Daodejing mengatakan, “Dao melahirkan satu, satu melahirkan dua, dua melahirkan tiga, tiga melahirkan laksa benda”. “Satu”ini adalah awal“bentuk tampak”( fisik/tangible/yang tampak ) dari Dao, dan Dao adalah asal dari segalanya. Karena itu “satu” ini yang bisa mepersatukan.Karena itu Zhengyi adalah Dao yang kita jalankan adalah dao kebenaran dan dao kesejatian dan tujuannya adalah kebenaran dan kesejatian真正.
            Guru langit Lu Xiujing 陆修静pernah mewanti-wanti murid-muridnya,”Ajaran yang benar adalah yang menerima Laojun dan tiga guru.”, dengan kata lain menjalankan tindakan yang benar dan ucapan yang benar.


Apa yang disebut Zhengyi, sesungguhnya disarankan juga untuk mengcounter yang jahat, karena pada masa Zhang Daoling mendirikan agama, di pedalaman masih beredar ajaran dan ilmu sesat yang menyesatkan rakyat jelata.Kitab Tao menuliskan bahwa pada masa itu siluman dan kejahatan merajalela, masyarakat menggunakan ilmu yang salah, bukan dao yang sejati.”
Zhang Daoling mendirikan agama Dao, karena diperlukan ajaran yang benar untuk membimbing semuanya, agar semua bisa bertisarana pada kepercayaan yang benar, dengan Zhengyi ( kebenaran yang satu ), dengan inti dalamnya adalahzhenyi ( kesejatian yang satu ).Dalam kata pengantar di kitab “Dua puluh empat wilayah administrasi” dikatakan bahwa, dao Zhengyi mengwei dari Zhang Tianshi adalah “ajaran kebenaran (zhengjiao正教) pewaris Tiga Langit统承三天untuk membantu negara mengedukasi rakyat,menghukum dan membasmi yang sesat dan jahat,merapihkan kembali kepercayaan-kepercayaan rakyat yang ada di pedesaan agar menjadi benar. Pewaris Tiga langit bermakna bahwa kepercayaan Zhengyi berasal dari Sanqingdaozu ( Yuanshi tianzun, Lingbao tianzun, Daode tianzun ).Makna mengwei 盟威 artinya adalah kita membuat sumpah dengan laksa dewata, menerima dan menjaga ajaran kebenaran, tidak terjatuh pada pandangan yang sesat, tidak menduakan kesejatian yang esa. Dalam pujian untuk Zhang Daoling yang dibuat oleh kaisar Tang Daizong ( 726-779 )dikatakan,”Hati dao yang tidak mendua, itulah yang disebut Zhengyi.”Dengan kata lain, kita yang percaya pada agama Tao, bertisarana di bawah ajaran Tianshi (Zhang Daoling ), sudah seharusnya “hati dao yang tidak mendua”(道心不二 ).Umat agama Tao yang sudah tisarana, terutama yang melalui “penganugrahan registrasi”shoulu授箓, menjadi fashi法师, dashi大师( guru), jika semua pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan semangat Dao yang benar, mereka tidak bisa “hati dao yang tidak mendua”, dan melawan makna dalam dao itu.  Guru langit ke 43, Zhang Ningchu menekankan “kesejatian yang esa tidak mendua”真一不二, dan memiliki dua makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, esensi ajaran dari Taishang laojun adalah “kesejatian yang esa tidak mendua”, dan itulah yang menjadi tujuan umat Tao.Yang kedua adalah, tidak boleh membiarkan hal-hal yang sesat ada dalam diri kita.Karena itulah kita sebagai umat aliran Zhengyi harus faham bahwa kata Zhengyi ini bukan sekedar nama tapi mengandung makna yang mendalam, sebuah ide dan semangat (spirit ) yang abadi dan itu adalah semangat Daozu ( Taishang laojun / Laozi ), semangat kitab Daode jing,tidak hanya semangat agama Tao saja tapi juga semua umat manusia dan harus direalisasikan;itu adalah memakmurkan negara mensejahterakan manusia, memberikan sumbangsih pada semua umat manusia, masyarakat dan negara. Pencarian kebenaran sejati, pengetahuan yang terunggul mengenai hakekat alam semesta ini bisa didapatkan melalui politik, ekonomi bahkan sastra, seni bahkan hingga teknologi yang canggih. Jadi dengan kata lain, umat Tao aliran Zhengyi tidak menjebakkan diri pada kesaktian atau hal-hal yang bersifat mistis karena kebenaran sejati itu ada dimana-mana.

3        proses lahirnya sekte Zhengyi :

            1.Sekte Longhu 龙虎宗sebagai inti dari sekte Zhengyi, sudah terbentuk dengan kepemimpinan dari keturunan Zhang Daoling sebagai pemimpin. Terbentuknya sekte Longhu ini sekitar pada akhir dinati Tang. Pada masa dinasti Song, sekte Longhu dengan sekte Maoshan dan Gezao disebut “tiga gunung talisman 三山符箓”, kerajaan Song pada masa itu memperlakukan sederajat untuk tiga aliran ini.Sebutan guru langit untuk keturunan Zhang Daoling, itu hanya sebutan dari umatnya, atau sebutan dari rakyat jelata, pihak pemerintah belum mengakui sebagai Tianshi, bahkan kaisar Song Zhenzong dan Song Huizong yang menjunjung tinggi agama Tao juga hanya menganugrahi gelar “xiansheng”先生 pada keturunan Zhang Daoling. Hingga pada masa dinasti Yuan, terjadi perubahan situasi yang amat besar. Orang Mongol yang menguasai daratan Tiongkok,tentunya melakukan kekuatan politik untuk melindungi kekuasaan dan kepemimpinannya.Tapidemi memenangkan hati rakyat dan melemahkan semangat perlawanan rakyat, mau tidak mau menggunakan cara-cara pendekatan ideology, terutama adalah agama sebagai pelengkap kekuatan politiknya. Selain menggunakan agama Buddha, agama Tao juga digunakan, pada awalnya mendukung sekte Quanzhen, tapi saat menguasai wilayah Jiangnan,maka yang disokong adalah sekte Longhu dan membatasi kegiatan Quanzhen, hal ini dilakukan karena pengaruh keturunan Zhang Daoling di wilayah itu amat kuat.Selain masalah politik, orang Mongol yang pada umumnya beragama Shaman[1]yang memiliki banyak kesamaan dengan agama Tao.Karena itu saat Yuan Shizu ( Kubilai Khan ) menguasai daerah Jiangnan,keturunan Zhang Daoling dengan sekte Longhunya mendapatkan perlakukan istimewa. Mulai tahun 1276  Kubilai Khan hingga akhir dinasti Yuan, dari Zhang Zongyan keturunan Zhang Daoling ke 36 hingga Zhang Zhengyan keturunan ke 41 dari Zhang Daoling, setiap generasinya diberi gelar Tianshi ( guru langit ), Zhenren ( manusia sejati ) atau dazhenren ( manusia sejati yang agung ).Mereka yang diberi gelar Tianshi mendapat perintah kerajaan untuk mengatur dan mengurus berbagai sekte Tao di Jiangnan.Gelar anugrah tianshi ini adalah mahkota kemenangan yang berharga dan memiliki kekuasaan yang nyata. Dengan dukungan dinasti Yuan, maka sekte Longhu menguat dan menjadi berpengaruh besar terutama pada sekte-sekte fulu lainnya dan dengan demikianlah,keturunan tianshi secara alamiah menjadi pemimpin berbagai aliran fulu di Jiangnan, dan sekte Longhu juga menjadi inti dari dari berbagai sekte fulu lainnya. Ini adalah pembentukanpersiapan yangnantinya menjadi inti kepemimpinan sekte Zhengyi.

2. Sejak bergenerasi tianshi ( guru langit ) mendapatkan posisi yang penting dalam Taoisme, sekte Longho juga memperoleh syarat dan kondisi yang menguntungkanperkembangannya , membuat terbentuknya fondasi organisasi. Sesungguhnya, perkembangan sekte Longhu pada masa dinasti Yuan, tidak hanya melampaui perkembanganya di dinasti apapun, juga perkembangannya melampaui berbagai sekte ful lainnya.Selain gunung pusat yaitu gunung Longhu yang menjadi lebih jaya yang tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya, skala perkembangan cabang-cabang Longhu juga sangat menonjol.Biara-biara Tao bertebaran di Jiangsu, Zejiang, Jiangxi, Hunan, Guangdong dan berbagai daerah lainnya juga di wilayah Beijing.Perkembangan organisasinya tidak dapat ditandingi oleh sekte fulu manapun, sehingga berbagai sekte fulu lainnya berkumpul dalam lingkup sekte Longhu yang menjadi persiapan pembentukan fondasi yang membentuk satu sekte besar yaitu sekte Zhengyi.

3. Semua aliran fulu 符箓[2] memiliki banyak kesamaan, baik dari segi keilmuan, doktrin,perbauran pemikiran mereka sejak awal sudah ada,sehingga memudahkan untuk saling menyerap dan menerima dalam segi organisasi menjadi semakin matang.Tapi pada masa dinasti Yuan, karena generasi Tianshi yang menjadi pemimpin berbagai aliran di agama Tao, hubungan antar sekte semakin sering,  hingga perbauran itu semakin meluas dan mendalam. Misalnya Wu Quanjie dari Xuanjiao belajar pada Lin Lingzhen dari sekte Donghua, juga belajar pada Lin Qi dari Nanzong.Zhao Siqi dari sekte Maoshan belajar pada Wang Shouyan dari Xuanjiao, Zhang Daogui, Ye Yunlai dari sekte Wudang Quanzhen belajar pada Huang Sunshen dari sekte Qingwei.Xu Yi dari sekte Jingming belajar pada Lan Daoyuan dari sekte Quanzhen dan masih banyak contoh lainnya.Saling belajar dan saling berbaurnya berbagai sekte fulu, menjadi syarat siapnya pembentukan sekte Zhengyi dari segi pemikiran.Pertukaran dan peleburan dari pemikiran dan ilmu ini, maju selangkah lagi yang membimbing berbagai aliran itu kembali dan menyatu.Misalnya sekte Taiyi, sekte Xuanjiao, Donghua, Qingwei selatan yang melebur dengan sekte Zhengyi, dan Qingwei utara melebur dengan sekte Quanzhen.Ini menunjukkan bahwa pada masa pertengahan dan akhir dynasty Yuan itu peleburan berbagai sekte fulu ke dalam sekte Zhengyi secara perlahan tapi pasti bergabung menjadi satu. Sebagai tandanya, pada tahun pemerintahan dade ke 8 kaisar Yuan Chengzong ( 1304 ), menganugrahkan Zhang Yucai tianshi generasi ke 38 menjadi “Zhengyi jiaozhu” 正一教主[3] , mendekralasikan  berdirinya sekte Zhengyi.

Ciri khas sekte Zhengyi adalah :

Pertama, semua keturuan Zhang Daoling menjadi pemimpin. Sejak tianshi ke 38 Zhang Yucai menjadi “Zhengyi jiaozhu”,jabatan ini dilanjutkan oleh keturunan tianshi. Walau penganugrahan gelar sebagai tianshi ini dihapuskan pada masa dinasti Ming dan Qing, nama Zhengyi jiaozhu juga bukan anugrah dari kaisar, tapi bagi umat-umatnya adalah hal yang wajar untuk tetap menjadikan keturunan Zhang Daoling sebagai pemimpin mereka.

Kedua, dari segi organisasi, karena terjadinya penggabungan itu asalnya dari berbagai sekte fulu baik yang lama maupun yang baru.Termasuk sekte Longhu, Maoshan, Gezao, Taiyi, Jingming, juga sekte Shenxiao, Qingwei, Donghua, Tianxin dan berbagai sekte kecil lainnya.Organisasinya lebih kendor.Setelah menjadi sekte besar, yang asalnya sekte kecil atau karena kurangnya pewaris kemudian melebur dalam sekte besar, pewarisan di sekte-sekte kecil tetap seperti dahulu, tapi menjadikan Tianshi sebagai yang utama.Misalnya sekte Longhu, Jingming, Qingwei dan lain-lain, hingga saat ini pewarisannya tidak terputus.

Ketiga, Kitab yang dihormati dan dijunjung bersama adalah kitab “Zhengyi jing”正一经, dengan ilmu utama adalah talisman, menjapa mantra,qirang zaijiao[4].

Keempat, Daoshi ( pendeta Tao ) boleh tidak tinggal di biara, boleh menikah dan memiliki keturunan[5], mereka ini disebut “huoju daoshi” 火居道士.Lingkup biaranya dibandingkan biara Quanzhen itu lebih kecil, sila dan aturannya juga tidak ketat.
sumber : http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3767-karakteristik-taoisme-sekte-zhengyi

[1]Ada kesalahan persepsi yang cukup mengganggu dengan arti kata shaman.Umumnya orang mengartikan shaman adalah dukun, tapi sesungguhnya itu adalah kepercayaan atau agama yang berkembang dari wilayah Manchuria hingga Mongolia dan dianut oleh banyak suku-suku diluar suku Han, misalnya orang Manzu, orang Tuqie, Mongol.Hingga kini agama ini tetap memiliki penganutnya.
[2]Aliran Zhengyi kadang disebut aliran fulu atau talisman.
[3] Jiaozhu : pendiri sekaligus juga pemimpin yang tertinggi
[4]Ritual untuk mendoakan agar negara tentram, bencana menyingkir, berdoa memohon berkah dan rahmat, menolak semua bencana, mengusir setan menaklukkan siluman demi ketentraman umat manusia.
[5]Hidup selibat dan tinggal di biara untuk daoshi aliran Zhengyi adalah pilhan bukan kewajiban.

Pengajaran Etika dalam Realitas Kemasyarakatan Negara

Pengajaran Etika dalam Realitas Kemasyarakatan Negara

  •  Written by  Yu Yongde
  •  Budaya-Tionghoa.Net| Dalam sebuah kesempatan seorang rekan berkata demikian:
“Saya tadi kongkow dengan beberapa teman negara XYZ. Saya kasih lihat video clip Dizigui dari teman dan tanggapannya enteng ‘sudah pernah nonton. Kita juga hafal di luar otak Dizigui dan buku-buku lainnya. kita diajarkan di sekolah. Masalahnya kita tidak bisa cari makan dengan itu. Dunia di sini butuh hidup keras. Kalau kita ikutin itu, tidak bisa hidup. Cuma orang-orang seperti kamu yang banyak waktu, yang sempet urusan dengan itu.’ Saya garuk kepala dibuatnya.”
 
Hal tersebut kemudian dibalas oleh rekan lain seperti, “apakah benar diajari dizigui dan buku-buku lainnya?” Dengan asumsi bahwa pernyataan di atas tidak mengandung kebenaran maka premis yang dilontarkan kawan berikutnya tak lagi relevan dibahas. Mari kita berangkat dengan asumsi bahwa perkataan rekan di atas benar adanya.
Apakah memang kondisi rakyat negara XYZ yang bermasalah dengan moral bisa dijustifikasi hanya dengan ‘hidup keras’ dan kebutuhan materi? Sebab, walaupun benar belajar Dizigui, Sanzijing dan segala macam etika lainnya, belum tentu moralnya otomatis menjadi baik. Karena pada dasarnya mengetahui atau mempelajari (lebih tepatnya diajari) tidak selalu sinonim dengan memahami dan mengamalkan. Ada berbagai kajian teknis bagaimana mempelajari sebuah konsep dan mengamalkan atau mempraktekkan konsep tersebut. Tetapi inni bukan lingkup pembahasan yang mau dikaji kali ini.
Belajar, pada dasarnya mengandung unsur mengikuti contoh teladan. Belajar bukan hanya membaca buku atau lulus ujian dengan nilai tertinggi ataupun peringkat pertama. Belajar juga bukan hanya bisa menghafal dan merangkai kata essay maupun puisi. Sebab, belajar yang benar sesungguhnya adalah mengulangi kebaikan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian, arti belajar sesungguhnya adalah mengikuti suri teladan.
Belajar juga mengandung unsur repetisi atau pengulangan. Baik pengulangan dalam membaca sebuah buku ataupun mengerjakan sebuah latihan atau tugas. Semuanya demi mencapai pemahaman yang sedalam-dalamnya. Namun, pengulangan yang terpenting dalam belajar adalah pengulangan pengamalan. Apa yang telah dibaca, dipraktekkan berulang-ulang sehingga yang dipelajari terhayati dan menjadi bagian integral dari jiwa kita.
Dalam belajar, faktor ‘contoh’ atau ‘suri teladan’ adalah salah satu faktor yang krusial. Dalam kasus rekan di atas, faktor ‘contoh’ inilah yang menjadi masalah dominan. Manusia di negara XYZ seperti rekan di atas sejak kecil tidak mendapatkan pendidikan budi pekerti yang baik juga tidak mendapatkan contoh teladan yang baik dari lingkungan maupun orang tua mereka. Siklus seperti itu sebenarnya siklus yang umum di dunia ini.
Memang benar, untuk bisa bermoral beberapa kebutuhan hidup mendasar harus terjamin terlebih dahulu. Tapi perlu dicatat, terjamin di sini bukan berarti harus selalu tercukupi atau berlimpah. Terjamin di sini adalah rakyat mendapatkan jaminan bahwa kebutuhan hidup mendasar mereka itu ada atau akan ada; bahwa negara betul-betul berupaya menjamin kehidupan mereka. Di sisi ini juga termasuk masalah negara XYZ. Akan tetapi, tidak berarti negara tersebut miskin. Ironisnya mereka kaya raya. Sayangnya dalam berlimpahnya materi serta sumber daya ada yang kurang di moralitas.
Kembali ke contoh. Contoh-mencontoh dalam belajar atau dalam kata lain mengikuti suri teladan, seorang anak akan mengikuti orang tuanya. Orang tua selaku rakyat akan mengikuti lingkungan sekitar, kota, bangsa dan negara. Sebabnya, lingkungan sampai negara seharusnya menjadi bintang utara yang menjadi pedoman hidup mereka, termasuk dalam hal ini adalah pemimpin negaranya. Sayangnya di negara tersebut para pejabat atau elitnya malah menjadi contoh perilaku tidak baik alih-alih bertindak sebagai bintang utara. Padahal, bila pemimpin negara menjunjung kebajikan, rakyat jelata juga tidak akan berani untuk tidak menjunjung kebajikan. Ini adalah sebuah konsep dari Xun Zi. Hal demikian menyebabkan adanya krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin mereka dan kemudian direpetisi sampai tingkat unit terkecil rakyat, yakni keluarga.
Padahal, kepercayaan rakyat itu penting. Rakyat bisa melepaskan makanan—dalam arti kenyamanan hidup—untuk hidup sengsara asal pemimpin mendapatkan kepercayaan dari mereka. Walau konsep ini beberapa kali dalam sejarah diselewengkan—misal gerakan revolusi merah di negara XYZ—ini adalah contoh betapa rakyat rela sengsara demi mempercayai sebuah tujuan. Kepercayaan rakyat ini dalam wujud suara mereka adalah bentuk suara Tuhan atau tianming. Inilah yang seharusnya dijaga oleh para pemimpin dan pejabat.
Sifat rakyat jelata tersebut di atas telah lama menjadi kajian para leluhur. Disebutkan rakyat jelata bagaikan rumput yang bergoyang mengikuti arah tiupan angin. Para junzi adalah angin yang bertiup. Ini seharusnya diisi oleh para pemimpin dan pejabat, para junzisejati sehingga keadaan negara ideal bisa terwujudkan. Sayang, realita selalu jauh dari idealisme.
Mereka-mereka yang hendak menentramkan dunia (bukan sekedar berkuasa) sudah seharusnya mewujudkan kemurnian diri mereka sendiri terlebih dahulu. Dalam arti bahwa seorang pemimpin seharusnya berkebajikan, memiliki moral yang baik, dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya.
Bila kita mengkaji sejarah Tionghoa, ada berbagai periode baik singkat dan lama dimana pernah terjadi zaman keemasan; negara makmur, rakyat tentram. Semua ini dimulai dari hulu negara, yaitu seorang pemimpin yang arif bijaksana. Tentu saja bukan berarti pada masa keemasannya semua rakyat bagaikan malaikat suci. Bagaimanapun juga, rakyat jelata juga bersifat pragmatis. Sebab itu, cukup 70% dari mereka merasakan kepuasan dan keyakinan maka ketertiban dan moralitas dengan sendirinya akan dimuliakan.
Jadi, dalam kasus ini, kalau kita perhatikan baik-baik keluhan rekan di atas, ditemukan adanya keluhan terhadap sistem. Bagaimana sistem memaksa mereka untuk tidak mengindahkan moral. Terlepas dari benar atau bohong, perlu dipertanyakan bagaimanakah sistem itu terbentuk dan lagi-lagi kembali ke siapa yang ada di balik sistem itu. Jawabannya adalah negara dan para penyelenggaranya. Di luar itu, tentu saja banyak elemen-elemen non birokrat yang tetap berupaya menjaga moralitas. Merekalah yang lebih sering menjadi junzi-junzi sejati di luar lingkar kekuasaan namun sayangnya seringkali idealisme mereka dianggap sebagai upaya pembangkangan terhadap sistem.
Kembali pada hal kepercayaan rakyat, sebenarnya ada jalur lain bagi rakyat untuk meletakkan harapan mereka. Itu adalah jalur kepercayaan atau agama. Sistem dualisme antara tradisi akademis birokrasi dengan kepercayaan rakyat ini telah dipraktekkan sepanjang sejarah Tionghua. Rakyat memiliki jalur alternatif bagi suara mereka yang sesungguhnya bila dikaji secara sudut pandang rasionalitas, kepercayaan itu lebih bersifat pelarian dan ungkapan kekecewaan. Sisi inilah banyak dimanfaatkan oleh penggiat politik untuk menciptakan berbagai konsep hiburan bagi hati rakyat. Misal, sistem pengaduan terhadap entitas yang dianggap suci dan jadi panutan moral. Entah beliau seorang leluhur berjasa yang diangkat menjadi dewa pun dewi.
Sepanjang sejarah Tionghua, tangan-tangan gelap kekuasan turut bermain untuk mengendalikan pelarian rakyat ini. Secara berkala sistem pelarian ini dikendalikan dan dipangkas agar tetap tertib sesuai jalur. Sebagaimana pengangkatan Lin Moniang sebagai dewa ataupun penyebaran kisah Xuantian Shangdi awalnya seorang tukang jagal yang bertobat. Ini karena pada dasarnya tidak mungkin ada kebijakan yang memuaskan semua pihak. Sayang, sistem seperti ini memiliki celah, yakni celah manipulasi.
Selain itu, pada zaman yang informasi dapat didapat dengan mudah dan cepat, manipulasi dapat dilakukan dengan penggiringan pendapat melalui media massa dan bahkan sekarang melalui sosial media di dunia maya. Penggiringan pendapat yang dilakukan oleh calon pemimpin untuk mendapatkan suara pada hari pemilihan contohnya. Atau juga oleh pemimpin itu sendiri pada masa jabatannya agar tampak hebat di mata para pendukung dan rakyat secara umum.
Tersebut dalam Daode Jing bahwa pemerintahan yang baik berjalan senyap, tanpa hingar-bingar pemberitaan namun kebutuhan rakyat terpenuhi atau terjamin. Pemerintahan yang terlalu banyak memberitakan kebijakan-kebijakannya ada kemungkinan menyimpan kebusukan yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan dari rakyat. Rakyat akan menjadi sibuk mencari dan jika mendapati lubang hitam sekecil apapun akan melupakan etika yang telah dipelajarinya. Dari sini, pada akhirnya kembali pada contoh kasus di atas bagai lingkaran setan yang tak terputus.
Sebab itulah, penggunaan manipulasi-manipulasi yang dapat dikatakan sebagai pilar gelap dalam pendirian dan penguatan kekuasaan ini harus didukung dan diimbangi dengan pilar terang yakni pengajaran etika. Rakyat harus terdidik dengan baik sehingga tidak mudah dimanipulasi pihak lain. Hal ini bukannya tidak mungkin melainkan tidak mudah. Karena tak kalah penting dari pengajaran tersebut adalah contoh pelaksanaan etika dan moral dari penguasa secara benar sehingga tindak-tanduknya dapat menjadi contoh bagi rakyat. Pada akhirnya, dengan pelaksanaan etika secara menyeluruh dari para junzi hingga rakyatnya, manipulasi melalui sistem kepercayaan atau agama maupun penggiringan pendapat melalui media massa tidak akan lagi menjadi faktor krusial bagi negara tersebut.

Oleh : Yu Yongde
Edited by : Lia Zhang

Kelenteng=kau lang tang 教人堂 ?

Written by  Zhonghua Wenhua

Ada satu versi yang menyebutkan asal mula kata 'kelenteng' itu berasal dr kata "Kauw Lang Teng" (bhs Hokkian). Yg bila diuraikan: Kauw / Jiao (ajaran/agama), Lang / Ren (Orang), Teng (Tempat). Jd Kauw Lang Teng adlh sebutan utk tempat orang belajar/beribadah agama.
Berkas:Tay Kak Sie Kelenteng Gang Lombok Semarang.jpg
Versi ini adalah versi yang amat lemah dan dasarnya tidak kuat.
Bila memakai premise Kauw Lang Teng, kita pecahkan elemen penyusun kata sebagai yg disebut TS.
Kauw : Ajar
Lang : Orang
Teng : Tempat (Hall ?)
Maka, istilah yang ada dan berlaku di pasaran saat ini yang mendekati etimologi kata itu adalah Kauw Teng , dan itu adalah sebutan untuk "gereja" (Nasrani).
Menurut saya kesimpulan ini (kauwlangteng=kelenteng) lemah, karena tidak masuk di cara manusia, yang berbahasa warisan bangsa Tengah, melabeli sesuatu dengan istilah. Mari kita selesaikan dengan deduksi :
Misal, manusia akan mulai dari ungkapan sederhana untuk hal yang pertama kali dia kuasai, misalnya kata mama, papa ... versi perulangan simpel untuk memanggil orang tua... manusia budaya apapun akan memanggil secara alamiah dengan istilah simpel ini.
Lalu dalam konteks ini, manusia di Hokkian, akan memakai kata yang lebih simpel untuk menerangkan hal yang sudah umum duluan dengan 1 suku kata seperti makan, tidur, belajar, ajaran, ajaran spiritual.
Baru sampailah kepada perpaduan dua kata simpel atau lebih untuk menerangkan lebih kompleks. Dimana syntaxnya adalah: kata awal menerangkan kata belakangnya. Dalam konteks ini Kauw Teng. Kauw Teng saat ini untuk menggambarkan tempat ibadah netral (belum mewakili agama apapun).
Maka Ada seperti Yindu Kauw Teng, Hutco Kauw Teng, Hui Kauw Teng. Tetapi kemudian kauw teng lebih suka dipakai oleh percakapan sehari-hari identik sebagai Nasrani.
Nah kalau kita berangkat ke istilah lebih kompleks 3 suku kata, Kauw Lang Teng yang dibahas ini, Format nya aneh, kata awal Kauw , menerangkan kata berikutnya Lang. Harusnya artinya menjadi tempat mengajar orang. Tidak lazim menjadi tempat ibadah lagi.
Saya kira format ini berlaku untuk semua dialek bahasa Tengah.
Maka, serasa istilah ini asing, lahir tanpa struktur jelas, juga etimologi tidak jelas. Maka itu teori ini, saya rasa susah diterima.
Juga kalau dipaksakan, mengingat ajaran nenek moyang duluan Ada, maka sangat kecil kemungkinan, memakai istilah versi lebih simpel (Kauw Teng) untuk ajaran import (belum ada dari nenek moyang) lalu memakai versi yang lebih extend untuk ajaran yang dianut sendiri dari lahir (Kauw Lang Teng)???
Teng dalam bahasa hokkian 庭,堂 yg jelas bunyinya pake e seperti dalam kata Elang, sedangkan kelenteng , tengnya e-nya seperti kata Emansipasi.

Alasann lainnya :
- Bio / Miao
- Hut Thng / Fud Thong
- Kauw Thng / Kauw Thong (merujuk ke Gereja dan tempat ibadah beberapa sekte agama rakyat yang mengedepankan pendidikan)
Sebagai penutur bahasa Hokkian juga, bunyi lafal 堂 adalah Thng, mirip seperti dalam Thng Shnua dan Thng Lang.
Sangat berbeda jauh dnegan bunyi dalam istilah "kelen-teng"
Teng-teng di sini artinya adalah rujak. Yang secara tradisional dulunya cuma dilakoni oleh thng lang perantauan. Alias tukang rujak di sini dulunya semuanya didominasi oleh orang Hokkian.

Nah klenteng lebih tepatnya berasal dari kata bunyi.. bunyi dari alat alat musik yg ditabuh di Bio waktu sembahyang. teng-teng, atau ting-ting.
Aturan penamaan jika  memakai wenyan :
教, minnan wenyan = kàu, minnan baihua = kà
人, minnan wenyan = jîn, minnan baihua = lâng
堂, minnan wenyan = tông, minnan baihua = tn̂g 

Referensi lafal: 台灣閩南語常用詞典
Kontributor : Brandon Hui, Liu Weilin, Pengelana Mimpi, Nawanug Gunawan  dalam diskusi di https://www.facebook.com/groups/budaya.tionghoa/

PK ( peekay ) mencari Tuhan

PK ( peekay ) mencari Tuhan
  • Written by  Ardian Cangianto



PK ( peekay ) mencari TuhanPK adalah sebuah film komedi yang disutradarai Rajkumar Hirani , dibintangi Aamir Khan dan Anushka Sharma, adalah film komedi spiritual agama yang amat menarik dan penuh nilai filosofis yang patut direnungkan. Satu tontonan wajib bagi mereka yang menjelajahi alam semesta ini terutama yang menggunakan pikiran maupun spiritualitasnya.  Film ini dapat dianggap melecehkan agama bagi mereka yang berkacamata sempit dan tidak mau membuka matanya mereka. Suka tidak suka, agama manusia ini menjadi tiga golongan. Pertama adalah monotheistic, kedua polytheistic dan nontheistic. Kadang arogansi-arogansi muncul dan pemaksaan-pemaksaan muncul atas nama agama.
  Alkisah ada seorang astronot dari planet lain datang ke bumi ini untuk menjelajahi dan mengetahui bumi ini. Astronot itu tidak bernama, tak berbicara dan tidak berpakaian. Setelah mendarat, remote control pesawat angkasanya dicuri oleh manusia bumi membuatnya tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Cerita kemudian berkembang dan menjadi semakin seru.Dalam pencaharian remote controlnya, ia melakukan hal-hal konyol dan karena tidak bernama serta tingkah lakunya yang “konyol” menurut manusia bumi. Ia diberi nama Peekay (Aamir Khan ) yang berarti  mabuk, ini mengingatkan penulis akan bait dalam Daode jing mengenai nama. Penamaan 有名 adalah tindakan manusia untuk membuat suatu perbedaan-perbedaan dan dari penamaan itu maka adanya perbedaan, dengan adanya perbedaan maka ada “aku”, “kau”, “dia” bahkan “yang lain”. Penamaan atau bernama ( 有名 ) itulah awal laksa mahluk. Dengan penamaanlah akhirnya si astronot bisa berinteraksi dengan yang lain dan menjadi satu “individu” dari milyaran individu yang mengisi bumi ini.
Bagi banyak budaya, nama mencerminkan karakter atau harapan. Penamaan Peekay ini bukan sembarang menamakan tapi karena mencerminkan karakter “pemabuk” yang sering dianggap keluar dari jalur yang ada. Manusialah yang merasa terunggul di alam semesta ini yang memberikan nama, karena itu dalam Daodejing bab 1 dikatakan bahwa “ada nama ( bernama ) adalah bunda segala mahluk”. Permasalahannya siapa atau apa yang bernama itu ? Apakah manusia yang memberikan nama sehingga menjadi adanya perbedaan ? Menjadi tahu bahwa dengan b berbeda ? Peekay tidak mampu berbahasa manusia dan ia terpaksa harus “download” dengan cara menyentuh tangan wanita. Mengapa perlu berbahasa ? Manusia adalah mahluk yang berkata. “Manusia disebut manusia, adalah ( karena ) kata. Manusia tidak dapat berkata, bagaimana menjadi manusia” (人之所以为人者 言也 人而不能言 何以为人)[1].  Tapi bahasa itu juga yang menjadi masalah, karena bahasa beragam sedangkan planet Peekay tidak memerlukan bahasa untuk berkomunikasi. Bahasa bagi Peekay menjadi sulit dan bermasalah. Intonasi, nada bicara, gesture juga menjadi penghambatnya dalam berinteraksi dengan manusia bumi ini, sebagai contoh adalah kata “asu” yang bisa berarti hinaan, cacian tapi juga bisa sebagai ungkapan perasaan diri. Peekay memberi contoh kata : achcha yang bisa memiliki empat arti dan tergantung dari tinggi rendahnya nada.Peekay menyadari bahwa tanpa bahasa maka manusia tidak bisa berinteraksi satu dengan yang lain alias tidak berdaya sama sekali. Gadamer mengatakan bahwa pusat memahami dan pemahaman manusia. Tanpa bahasa manusia tidak bisa memahami satu sama lain, seperti yang dialami Peekay. Bukankah itu yang menjadi masalah manusia, bahasa menjadi amat penting dalam kehidupan sehari-hari ? Tanpa bahasa, maka logika tidak bisa diterapkan, karena logika itu berbicara tentang masalah inferensi-inferensi. Tapi seperti bangsa Peekay, mereka tidak memerlukan bahasa. Mereka berkomunikasi lewat pikiran, dan pikiran itu isinya adalah imaji-imaji bukan aksara atau angka. Apakah imaji adalah bahasa ? Bagaimana menyampaika imaji-imaji itu ? Apakah bahasa tulisan pertama adalah “imaji” yang kemudian disuarakan oleh manusia ? Selalu menjadi perdebatan menarik tentang asal muasal bahasa, fungsi bahasa, tujuan bahasa, makna bahasa.Dalam filsafat Tiongkok  dalam  kitab Liji adalah “hanya mengenal suara tapi tidak mengenal bunyi adalah binatang” ( 是故知聲而不知音,禽獸是也)[8]. Pengertian bunyi disini adalah intonasi yang beragam dan bisa dimainkan sehingga menjadi music, sehingga manusia bisa memperluas ekspresi perasaannya melalui bunyi-bunyi yang dirangkai menjadi music[2]. Film India menjadi menarik karena dalam beberapa bagian penting dalam film India itu, ekspresi perasaan disampaikan melalui tari dan music.

Pencarian Bhagvan ( Tuhan ) oleh Peekay karena orang-orang mengatakan bahwa hanya Tuhanlah yang bisa membantunya. Peekay mencari beragam jenis Tuhan yang dimiliki oleh beragam agama. Dari kuil Hindu hingga gereja ia jelajahi, ragam ritual ia lakukan. Terkadang kebingungan, ragam itu menimbulkan perbedaan dan juga terkadang menimbulkan perpecahan. Dalam perjalanannya ini, ia memiliki banyak pertanyaan. Mungkin terdengar bodoh. “Kau yang menciptakan Bhagvan atau Bhagvan yang menciptakan kau ?” Satu pertanyaan sederhana yang menggelitik saat ia memprotes patung dewa yang ia beli ternyata “kehabisan battery” setelah ia “mendapat” makanan saat memohon pada Bhagvan.  Si penjual hanya bisa terbengong-bengong dan menjawab ya dan itu untuk memujanya. Kata memuja ini mengingatkan penulis akan George Calin, seorang comedian dari Amerika yang mengatakah hanya memuja tapi tidak berdoa pada matahari. Perkataan itu benar-benar menampar karena berapa banyak manusia yang berdoa untuk meminta-minta hal-hal yang terkait dengan ‘pemuasan diri’ mereka ? Berapa banyak yang memuja tanpa meminta-minta ?Apakah manusia itu harus beragama ? Jika ya, maka mana tanda agamanya yang melekat sejak lahir ? Bagaimana caranya tahu agama anak yang baru lahir ? Kitalah yang memberi agama itu yang melekat pada anak itu, seperti stempel yang dicap pada surat akte lahir. Bukan dari mahluk adikodrati bernama Tuhan, dewa atau apapun yang memberi stempel itu, sekali lagi manusialah yang memberi stempel itu.

Peekay menyadari bahwa di dunia ini banyak agama dan artinya banyak Tuhan yang berbeda-beda, semua memiliki aturan sendiri, rumahnya sendiri, pemuka agamanya sendiri dan tempat memujanya hanya ada Tuhannya  ( dewanya ) sendiri , tidak ada yang lainnya. Mungkin jika Peekay mendarat di Tiongkok lima ratus tahun yang lalu, ia akan melihat bahwa di Tiongkok unik. Karena banyak tempat ibadah orang Tionghoa itu menerima tiga agama yang berkembang di Tiongkok tanpa adanya gesekan. Di Tiongkok ada pepatah yang terkait dengan hal itu,  tiga agama menjadi satu(三教合一). Bahkan jaman dynasty Yuan sendiri sudah berdiri kelenteng tiga agama三教廟 di Beijing. Kelenteng itu bukanlah sinkretisme tapi memang benar-benar tempat ibadah tiga agama itu berada dalam satu lokasi dan mendapatkan tempat yang setara. Karena itulah gesekan antar agama tidaklah begitu menghebohkan di Tiongkok dibandingkan di wilayah lain di bumi ini yang penuh tangis dan darah saat gesekan dan pembantaian atas nama Tuhan dan agama berlangsung. Pemikiran tiga agama menjadi satu ini dalam khasanah Tiongkok adalah mereka saling menghormati agama lain, seperti bhiksu Huiyuan yang menghormati agama Tao dan Kong Hucu, Wang Chongyang menghormati agama Buddha dan Konghucu juga Wang Yangming menghormati agama Tao dan Buddha. Menyerap ajaran-ajaran yang ada dan dihargai bahwa ajaran di luar itu memperindah ajaran mereka.

Katanya kau penguasa alam semesta.
 Dengarlah doaku juga, aku ingin pulang.
 Oh Tuhan…….
 Oh Tuhan, dimanakah Kau ?
 Katanya Kau tunjukkan jalan bagi mereka yang putus asa.
 Aku juga salah satunya.
 Aku ingin pulang.
 Oh Tuhan, dimanakah Kau ?
 Haruskah aku memujaMu atau menyembahMu ?
 Haruskah aku memberimu ardaas ?
 Kau tidak ada di kuil….…maupun di gereja.
 Mataku lelah mencariMu.
 Mataku lelah mencariMu.
 Semua aturanNya aku ikuti.
 Aku tunduk padaMu seperti kutunduk pada duniawi.
 Oh Tuhan, dimanakah Kau ?
 Kau punya banyak nama.
 Kau punya banyak wajah.
 Ada banyak jalan menemukanMu.
 Sudah kulalui semua jalan itu.
 Tapi tetap tidak menemukanMu.
 Aku tak mengerti apa yang Kau mau?
 Aku tak mengerti apa yang Kau mau?
 Aku terus berusaha tanpa berpikir dan mengerti.
 Ku ikuti aturanMu dengan segala hormat.
 Oh Tuhan, dimanakah Kau ?   

Lagu yang dinyanyikan dan amat menyentuh saat menggambarkan Peekay mencari dan menyembah semua Tuhan yang ada. Penulis menjadi teringat satu koan Zen. Alkisah ada seorang pemuda yang hendak mencari bodhisattva hingga ke pulau Putuo yang konon adalah tempat tinggal Avalokitesvara bodhisattva. Ditengah perjalanan pemuda itu bertemu seorang bhiksu yang menanyakan tujuannya. Saat bhiksu itu mengetahui tujuannya, bhiksu itu mengatakan,” pulanglah kau ke rumah, nanti kamu bertemu orang yang memakai baju terbalik dan sandal hanya sebelah. Itulah bodhisattva yang kau cari.” Pemuda itu mendengar nasehat tersebut kemudian bergegas pulang dan menggedor pintu rumahnya di malam hari sambil berteriak untuk membuka pintu. Ketika pintunya terbuka, ia melihat seorang wanita yang memakai baju terbalik dan sandal sebelah. Wanita itu adalah ibunya sendiri.

Dari kisah Zen itu kita sering menemui banyak orang yang mencari Tuhan, dewa, dan sebagainya tapi lupa bahwa orang tua adalah reprensentasi langit dan bumi atau yinyang,suatu symbol “Tuhan” menurut Ruisme maupun Taoisme. Peekay memang memiliki tujuan mencari Tuhan karena ingin pulang, sama seperti manusia yang mencari Tuhan karena “pemuasan diri”, seperti si pemuda itu yang mencari Avalokitesvara bodhisattva hanya suatu bentuk “pemuasan diri”. “Pemuasan diri” Peekay bagaikan anak kecil lugu yang mencari dan memohon pada Tuhan dengan polos tanpa niatan-niatan nafsu keduniawian seperti kaya, dipandang, naik pangkat, lulus ujian sekolah, yang diminta hanya “remote control” saja. Kadang kita mentertawakan orang yang menyembah batu, pohon sebagai penyembah berhala saat mereka itu memohon lulus ujian tapi lupa bahwa mereka yang mentertawakan juga sering meminta hal yang sama saat mereka berdoa yang konon berdoa pada yang “BENAR”. Dan wajar saja mereka meminta hal-hal seperti itu termasuk juga jaminan setelah mati. Rodney Stark mengatakan,” Manusia mendekati tuhan-tuhan karena dua jenis keuntungan : yang dapat diperoleh di masa depan yang tak terbatas dan yang diperoleh ‘disini’ serta ‘kini’. Yang terakhir adalah keajaiban-keajaiban : efek-efek yang dikhendaki, yang diyakini tidak mungkin terjadi kecuali karena campur tangan tuhan-tuhan dalam kaitan dengan persoalan-persoalan duniawi.”[3] 

Pertemuannya dengan Jaggu (Anushka Sharma ) seolah-olah memberikannya pencerahan dan juga Jaggu mendapatkan pencerahan dari Peekay. Ini mengingatkan penulis pada salah satu konsep yinyang
Yin berdiri sendiri tidak akan melahirkan dan yang tunggal tidak akan bisa berkembang  (guyin busheng duyang buzhang 孤陰不生獨陽不長). 
Hubungan antara Peekay dengan Jaggu yang saling mencerahkan itu berlangsung dua arah dan terkadang tanpa disadari termasuk peranan Tapaswi dan ayah Jaggu. Kondisi ‘tanpa disadari’ itu bisa terjadi saat kita terpaku pada tokoh sentral seperti Pee Kay, melupakan tokoh-tokoh lain dalam film itu. 
Sama halnya banyak yang melupakan peranan pengamen yang memberikan pencerahan bagi Buddha Gautama, karena pengamen itu ‘terlupakan’ perannya.Dari pertemuan Pee Kay dengan Jaggu, Tapaswi, ayah Jaggu, akhirnya Pee Kay menemukan dua kata kunci. “Salah sambung” dan “bisnis ketakutan” adalah yang melekat pada banyak manusia. “Salah sambung” karena sampai hari ini tidak ada manusia yang melihat dan mendengarnya langsung. Satu pernyataan menarik dari Jaggu, karena semua itu disampaikan oleh para pemuka agama. Peekay memberi solusi sederhana,”sebelum telpon diperbaiki, masalah kita terus bertambah. Kita perlu membantu satu sama lain”. Telpon model apa yang harus diperbaiki ? Mengapa salah sambung ? Karena kita selalu tergantung pada “bentuk” baik fisik maupun imajiner. Bentuk-bentuk itulah buatan kita semua sehingga kita yang menyekat diri kita dan selalu “salah sambung”. Saat Laozi mengatakan,”Dao yang dapat dikatakan bukan Dao sesungguhnya, Nama yang diberikan bukan nama sesungguhnya.” Sebenarnya mengandung satu pengertian bahwa yang “sesungguhnya” itu melampaui apa yang ada dalam diri kita, tapi Taoisme sendiri tidak mengenal konsep transenden dan imanen, Taoisme melingkupi semuanya. Dalam kitab Qingjing dikatakan”Ku terpaksa beri nama Dao”. Kata terpaksa ini mau tidak mau kembali lagi pada manusia yang menggunakan bahasa sebagai ekspresi dan juga untuk dialog dengan manusia yang lain. Apakah manusia itu kodratnya harus berbahasa ? Baik language maupun la parole ? Signified dan signifier ? Seperti pemikiran Ferdinand de Saussure  ? Yang jelas manusia memerlukan suatu “alat” untuk menyampaikan gagasan, terlepas seperti apa dan bagaimana pengembangan gagasannya itu maupun caranya.  “Salah sambung” ini berkembang dari “ketakutan” dan ketakutan ini menjadi bisnis sehingga telepon semakin rusak dan semakin salah sambung.

Sungguh penulis kecut melihat bahwa “bisnis ketakutan” ini adalah investasi murah tapi “menggiurkan”. Apa yang kita lihat sekarang ini “bisnis ketakutan” semakin berkembang dan juga semakin meluas. Dari yang awalnya bersifat “sacral” dan “indah” menjadi suatu komoditas bisnis yang bahkan bisa “bebas pajak” negara. Kitalah yang menciptakan Tuhan itu yang juga menurut standar kita sebagai manusia. Dan kita sebagai manusia juga beragam budayanya sehingga Tuhan itu juga menjadi standar budaya tanpa disadari oleh kita. Apakah Tuhan itu memiliki emosi ? Apakah Tuhan itu memiliki “bentuk” ? Apakah Tuhan itu satu, dua, tiga, bahkan sejuta ? Kitalah yang memberikan itu semua. Bahkan angka satu baik sebagai penanda Tuhan itu mono maupun poly sebagai penanda Tuhan itu banyak bahkan Tuhan itu tidak ada adalah berdasarkan hitungan matematis manusia belaka. Apakah Tuhan mengenal angka 0 sampai 9 ? Bukankah kita yang meletakkan angka itu pada Tuhan itu sendiri ? Dalam kitab Qingjing dituliskan bahwa Dao tidak memiliki bentuk, tidak memiliki perasaan. Jadi siapa yang melekatkan itu semua ? Manusia ? Bukankah kita yang melabelkan itu semua ?Perbedaan-perbedaan ini semua dibuat karena adanya perbandingan. Dalam Daodejing bab 2 dituliskan bahwa adanya indah maka ada buruk, sesungguhnya indah buruk, tinggi pendek itu bukanlah suatu pemisahan tapi seharusnya menjadi suatu keharmonisan. Dalam kitab Yijing dikatakan bahwa “satu yinsatu yang adalah Dao[4]” ( 一陰一陽之謂道 ), jadi bukan untuk mengabsolutkan yang lain. Kitab Yijing menekankan adanya “pergerakan” yang bersifat “relative” bukan “absolute”.

Sayangnya banyak yang terjebak pada konsep “pengabsolutan” sehingga membuat terjadinya ketidak harmonisan. Apakah Tuhan hilang atau Tuhan telah mati ? Tapaswi menyindir Peekay yang menempel selebaran yang mencari Tuhan yang hilang. Bahkan Tapaswi menyindir Peekay seperti Nietszche yang berkata “Tuhan telah mati”. Apa kondisi sosial masyarakat saat Nietsche hidup itu sama seperti yang Peekay lihat saat ini ? Penulis teringat ujar Hushi yang mengatakan bahwa,”agama modern adalah agama yang menekankan hubungan horizontal daripada hubungan vertical” dan menurut Hushi, Ruisme adalah agama yang menekankan hubungan horizontal daripada vertical. Penulis sependapat dengan pemikiran Hushi ini, karena hubungan horizontal itu yang lebih diperlukan daripada meributkan “sambungan telepon” untuk Tuhan seperti yang Peekay katakan.  Tuhan yang mana yang harus dipercayai ? Tetap akhirnya banyak manusia yang bersikukuh “Tuhan kami” bukan “Tuhan kamu”. Dan akhirnya tumpah darah, pemaksaan baik halus maupun kasar, mematikan akal, membela “Tuhanku”. 

Setelah menonton film itu, penulis teringat kebijaksanaan timur. Buddha Gautama berkata,”ada 84.000 jalan keselamatan”, “ajaranKu hanya segenggam daun ditangan”. Kongzi mengatakan,”sesama penganut jalan suci harus saling menghormati”, Laozi berujar,”Jalan Langit tiada berperasaan hanya abadi bersama manusia yang berkebajikan.” 
“Begitu banyaknya dewata karena mereka merepresentasikan satu sifat mulia alam semesta dan dewata-dewata itu menjadi terfokus pada satu wujud yang sesuai dengan persepsi kita.” Daojiao yaolun.

“Setelah menciptakan seluruh ciptaan ini, Beliau memasuki semua ciptaan ini, Beliau merubah Dirinya menjadi berbentuk dan tidak berbentuk (Saguna dan Nirguna Brahman), Beliau menjadi benda-benda dan makhluk-makhluk  yang dapat dikenali maupun yang tidak dapat dikenali; Beliau menjadi ciptaan-ciptaan yang memiliki penunjang dan juga yang tidak memiliki penunjang; Beliau menjadi berbagai ciptaan yang sadar dan juga yang tidak memiliki kesadaran. Beliau menjadi berbagai ciptaan yang  kasat mata (kasar) dan yang tidak kasat mata (halus, lembut). Beliau menjadi semua ciptaan apapun juga namanya; oleh karena itu para kaum yang bijak menyebutNya sebagai Yang Hakiki.”[5] 

Semoga ibumu menjadi  tuhan bagimu’Semoga ayahmu menjadi tuhan bagimu;Semoga para tamu menjadi tuhan bagimu juga[6];  

[1] Chunqiu Guliang zhuan bab Duke Xi, hal.64. [2] Bdk.Ernt Casier, hal.177-178. Dalam kitab Liji bab Yueji, menuliskan bahwa music adalah gabungan dari berbagai nada suara dan ekspresi perasaan-perasaan manusia. [3] Rodney Stark, Resiko Sejarah Bertuhan Satu, penterjemah M.Sadat Ismail ( Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2003 ). Hal.24. [4]Pernyataan ini adalah komentar Kongzi dalam  Zhouyi xici 周易系辭. Dao ini sering diartikan jalan, tapi untuk ini diartikan adalah suatu awal yang selayaknya bersifat harmonis. Konsep ini agakberbeda dengan konsep dao yang dijabarkan oleh Lao Zi 老子dalam Daode Jing ( 道德经 ), dao ini dilukiskan sebagai sumber segalanya. [5] Upanishadhttp://shantigriya.tripod.com/sastra/taittiriya/taittiriya.htm  [6]  Upanishadhttp://shantigriya.tripod.com/sastra/taittiriya/taittiriya.htm

Sistematisasi “Agama Tionghoa” Tantangan yang dihadapi oleh Organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” Kontemporer di Indonesia ( bagian 1 )

Sistematisasi “Agama Tionghoa” Tantangan yang dihadapi oleh Organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” Kontemporer di Indonesia ( bagian 1 )

  •  Written by  Tsuda Koji
Kertas Kerja DORISEA oleh Tsuda Koji, terbitan 18, 2015, ISSN: 2196-6893


Tsuda Koji

Sistematisasi “Agama Tionghoa”
Tantangan yang dihadapi oleh Organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” Kontemporer di Indonesia

Penterjemah: Ratna Tri Lestari Tjondro

Sejak kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, kondisi sosial-politik etnik Tionghoa di Indonesia telah meningkat secara drastis, sementara pengawasan Pemerintah terhadap institusi-institusi keagamaan telah melemah. Artikel ini difokuskan pada perubahan-perubahan yang sedang terjadi yang relatif tidak menarik perhatian tapi penting mengenai “Agama Tionghoa (Chinese Religion)” di masa sesudah pemerintahan Soeharto. Pada awal abad ke-20 para cendekiawan Peranakan Tionghoa (etnik Tionghoa yang melokalisir baik dalam hal kebudayaan dan keturunan) di Hindia Belanda Timur menemukan Konfusianisme dan mengembangkan “Sam Kauw” dalam usaha mereka mencari “tonggak spiritual untuk orang Tionghoa”. Gerakan ini didorong oleh gerakan nasionalis Tionghoa, dan kristianisasi etnik Tionghoa. “Sam Kauw” atau “Tridharma” digambarkan sebagai “Agama Tionghoa tradisional” yang holistik, yang mencakup Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, begitu juga penyembahan terhadap leluhur dan praktek-praktek agama rakyat di klenteng-klenteng Tionghoa. Namun, dari pertengahan tahun 1960 di bawah rezim Soeharto, organisasi-organisasi yang membawahi Tridharma hanya berfungsi sebagai pelindung klenteng-klenteng Tionghoa, dan melakukan sedikit “aktivitas-aktivitas keagamaan”. Setelah masa Soeharto, menyusul perubahan-perubahan pada susunan “Agama Tionghoa” yang disebabkan, antara lain oleh pengakuan kembali Konfusianisme sebagai agama yang diakui secara resmi, organisasi-organisasi Tridharma telah mulai mempertegas kembali alasan mereka dengan membangun doktrin-doktrin dan menstandardisasi upacara-upcacara. Dalam artikel ini saya menawarkan suatu gambaran tentang proses-proses sejarah, sebelum meninjau usaha-usaha penting untuk mensistematisasi keagamaan yang dilakukan oleh tiga organisasi Tridharma baru-baru ini; satu di Jawa Barat (Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia), satu di Jawa Timur (Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma se-Indonesia), dan cabang terakhir di Jawa Tengah. Selanjutnya, saya menganalisa sumber-sumber pengetahuan keagamaan yang didapat untuk menunjang usaha-usaha sistematisasi ini.

Kata-kata kunci: “Agama Tionghoa”, Tridharma (Tri Dharma), masa pasca Soeharto, etnik Tionghoa


I. Pengantar  

Pada bulan Mei 1998 ketika rezim Orde Baru di Indonesia jatuh setelah lebih dari 30 tahun di bawah Presiden Soeharto, dimulai tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan opresif yang menargetkan penduduk Tionghoa (mulai saat ini disebut sebagai “etnik Tionghoa). Dalam prosesnya, hukum-hukum yang melarang pengungkapan kebudayaan yang berasal dari China secara publik dihapuskan. Pasang surutnya perubahan-perubahan utama politik mempengaruhi etnik Tionghoa termasuk kepercayaan mereka. Tahun Baru Tionghoa menjadi hari libur nasional dan Konfusianisme mendapatkan kembali statusnya sebagai agama ke-enam yang diakui oleh negara. Perubahan-perubahan ini membawa peningkatan yang nyata dalam “Agama Tionghoa1.

Selama masa Soeharto, klenteng-klenteng Tionghoa telah dilarang, meliputi pengadaan aktivitas-aktivitas secara publik dengan alasan bahwa klenteng termasuk dalam kategori “tata budaya asing” yang tidak sesuai dengan “kepribadian Indonesia”2 (Tsuda 2012b: 389-390). Namun, sekarang beberapa klenteng Tionghoa bahkan mengadakan kelas-kelas bahasa Mandarin di tempatnya. Ini adalah bagian dari tranformasi yang lebih luas yang telah menjadi nyata dalam komunitas-komunitas lokal di banyak bagian negeri ini, dengan perubahan ke arah penempatan kembali fungsi klenteng-klenteng Tionghoa yang telah dirusak selama masa Soeharto, sebagai pusat kegiatan untuk masing-masing komunitas etnik Tionghoa (Tsuda 2012b: 396-397).

Fungsi lain yang disediakan oleh klenteng-klenteng Tionghoa, mungkin secara tradisional lebih penting, adalah sebagai tempat pemujaan. Di klenteng orang-orang mengangkat dupa, menangkupkan telapak tangan saat berdoa, dan membakar kertas untuk menyembah dewa-dewa yang terkenal dalam kepercayaan Tionghoa. Sekilas pemandangan “biasa” ini membangkitkan sensasi “tradisi”, dari praktek-praktek upacara yang diturunkan dari generasi ke generasi di antara orang-orang Tionghoa, melebihi batasan-batasan waktu dan geografi. Namun, bidang ini, meskipun secara umum dimengerti sebagai “kepercayaan etnik Tionghoa”, sama sekali tidak mempertahankan keberadaannya secara “tradisional”. Sebaliknya, demi mengadaptasi ke kondisi sosial dan politik, “tradisi” ini telah melewati perubahan-perubahan berarti. Perubahan yang paling nyata terjadi pada pergantian abad ke 20 di bawah struktur kolonial Hindia Belanda Timur, ketika para cendekiawan Peranakan Tionghoa mencari dan secara sangat sadar mendukung konsep “Agama Tionghoa” yang jelas sebagai tonggak spiritual untuk memodernisasi “orang-orang Tionghoa”3.

Perubahan lain yang berarti dikembangkan ketika negara berbangsa tunggal yang baru waktu itu mempromosikan konsep “agama yang mengikuti Islam dan Kristiani yang monotheis. Perubahan ini dipercepat oleh faktor-faktor yang sama yang dialami oleh golongan-golongan beragama lain seperti Hindu Bali, yang melalui suatu proses usaha besar yang berlangsung selama lebih dari 5 dekade, bekerja untuk menysuaikan iman mereka dengan model “agama” dari negara. Agar diakui sebagai “agama” secara resmi, adanya Tuhan yang monotheis, nabi, kitab suci, dan tempat pemujaan adalah syarat-syarat penting (Ramstedt 2004). Perubahan-perubahan ini dipercepat pada masa rezim Soeharto, dimana Pancasila sebagai filosofi negara dianggap mutlak sebagai suatu ideologi untuk melawan komunisme. Terlebih lagi rezim Soeharto menambah rangkaian kebijakan-kebijakan untuk membuat “hal-hal yang berbau Cina” (segala sesuatu yang berhubungan dengan China atau etnik Tionghoa) tidak kelihatan di tempat-tempat umum demi kepentingan keamanan. Proses penghilangan ini diintensifkan ketika rezim ini kemudian mencoba memobilisasi kekuatan ekonomi etnik Tionghoa, sambil dengan hati-hati menghindari rasa iri dari orang-orang pribumi (Tsuda 2011: 11-14; 2012b). Tindakan opresif yang sangat berat ini berakhir pada pergantian abad ke-21, ketika “hal-hal berbau Cina” mulai berangsur-angsur diterima tidak hanya secara politik tapi juga secara sosial. Selain itu, negara telah berangsur-angsur tidak mau memperlakukan “agama” di bawah kontrol pusat4.

Dengan perubahan-perubahan ini orang-orang saat ini lebih leluasa menyatakan pendapat yang berhubungan dengan kesukuan atau agama di muka publik. Mengikuti fenomena ini, dipelopori oleh organisasi-organisasi keagamaan dalam bidang “Agama Tionghoa” yang tadinya hanya memayungi dan melindungi Klenteng-klenteng, memunculkan gerakan-gerakan yang tiba-tiba ditujukan untuk menyusun doktrin-doktrin dan menstandardisasi upacara-upacara. Dalam artikel-artikel sebelumnya saya telah menggambarkan situasi di klenteng-klenteng Tionghoa di seluruh Jawa saat ini, begitu juga beberapa masalah yang dihadapi oleh klenteng-klenteng individu dalam konteks lokal (Tsuda 2012b). Dalam artikel ini saya akan fokus pada organisasi-organisasi keagamaan5 dan memberikan suatu gambaran konkret untuk sistemasisasi “Agama Tionghoa” yang saat ini berkembang – dalam usaha-usaha mereka mengembangkan “penafsiran doktrin yang benar” (orthodoxy) dan “praktek upacara yang benar” (orthopraxy) – dalam hubungan dengan perubahan-perubahan sosial politik tersebut di atas.

II. Sejarah “Agama Tionghoa”

1. Awal abad ke 20 – Kwee Tek Hoay dan Sam Kauw Hwee

Mayoritas klenteng-klenteng Tionghoa di Jawa tampaknya dibangun atau direnovasi pada pergantian abad ke19 (Salmon & Siu 1997). Secara umum klenteng-klenteng ini dipertahankan dan diurus oleh masing-masing komunitas lokal etnik Tionghoa, dengan kata lain, klenteng-klenteng tidak dihubungkan pada organisasi-organisasi keagamaan yang terpusat6. Namun, selama awal abad ke-20, suatu gerakan muncul untuk mencari suatu agama yang bisa berlaku sebagai tonggak spiritual untuk etnik Tionghoa –  “Agama Tionghoa”.

            Dari akhir abad ke19 sampai tahun 1920-an, beberapa golongan – mula-mula dengan maksud untuk memodernisasi masyarakat etnik Tionghoa, dan kemudian sebagai serangan balasan terhadap gelombang-gelombang modernisasi dan westernisasi – menggunakan ajaran-ajaran Konfusius sebagai tonggak spiritual untuk masing-masing gagasan (Coppel 1989). Untuk menghadapi hal ini, Kwee Tek Hoay (郭德怀, 1886-1951) yang dikenal sebagai penulis produktif dalam sastra Peranakan, sangat kritis terhadap mereka yang mempromosikan modernisasi atau menggunakan ajaran-ajaran Konfusius sebagai kedudukan yang eksklusif, secara umum menolak penyembahan leluhur dan dewa-dewa sebagai hal yang kuno. Ia juga kuatir bahwa mereka telah gagal mendapatkan dukungan di antara masyarakat Tionghoa, malahan gagal menjadi tonggak spiritual yang efektif untuk melawan gelombang Kristenisasi masyarakat Tionghoa. Dalam tahun 1934 ia mendirikan suatu organisasi baru yang dikenal sebagai Sam Kauw Hwee (三教会), secara harfiah berarti “Perkumpulan Tiga-Ajaran” (Rees 1987: 48, 53-54). Sam Kauw (dalam bahasa Indonesia, Tridharma)adalah istilah yang mengkonsepkan ketiga ajaran terdiri dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, yang ditanamkan secara mendalam di antara masyarakat Tionghoa, yang berbaur secara baik dan tak terpisahkan. Tentu saja, konsep “Tiga-Ajaran” atau konsep-konsep yang serupa telah mempunyai suatu eksistensi dalam filosofi Tionghoa selama berabad-abad. Tetapi Kwee sendiri, yang dapat dikatakan hampir tidak mempunyai kemampuan membaca huruf Tionghoa, secara jelas telah diperkenalkan kepada pemikiran tradisi Tionghoa melalui orang-orang Barat atau literatur Barat8, dan telah menemukan konsep “Tridharma” dalam usaha mencoba untuk menangkap kembali “Agama Tionghoa” sebagai konsep yang lebih inklusif.

            Segera setelah pendirian Sam Kauw Hwee, cabang-cabang telah didirikan di seluruh Jawa dan di kota-kota besar di pulau-pulau lain. Sam Kauw Hwee mengikuti golongan-golongan sebelumnya yang mencari “Agama Tionghoa”, namun ia digagas sebagai organisasi yang lebih terbuka kepada masyarakat9. Dengan mengakuigelombang Kristenisasi masyarakat Tionghoa sebagai ancaman10, pada akhir tahun 1930 Kwee sendiri telah melihat Tridharma sebagai sebuah sistem religious (Rees 1987: 67-78. Klenteng-klenteng Tionghoa dianggap sama dengan gereja-gereja. Karena itu aktivitas-aktivitas selanjutnya ditujukan untuk mengubah peran klenteng dari hanya tempat untuk pemujaan adat menjadi tempat untuk berkhotbah yang akan memperdalam pengertian “filosofi” dari “Agama Tionghoa” yang baru dipusatkan, yaitu ajaran-ajaran Shakyamuni, Konfusius dan Lao-tze.

            Dikarenakan, di antara lain, kekacauan yang terjadi selama masa kemerdekaan, Sam Kauw Hwee mengalami suatu kemacetan sementara dalam aktivitasnya. Dalam tahun 1952, enam bulan setelah kematian Kwee, cabang-cabangnya digabungkan untuk membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI). Dalam tahun 1963 nama resminya diubah menjadi Gabungan Tridharma Indonesia (GTI). Dengan berkantor pusat di Jakarta, mereka telah memperluas basisnya, terutama di Jawa Barat (Tsuda 2012b: 392-393).

2. Masa Soeharto: PTITD

Pada tahun 1967 dalam proses untuk mengatasi kerusuhan yang disebabkan oleh Gerakan 30 September, Soeharto teah merampas kekuasaan. Ditempatkan persis pada persilangan antara kebijakan-kebijakan mengenai “kepercayaan” dan “hal-hal berbau Cina”, klenteng-klenteng Tionghoa secara umum menghadapi situasi yang sulit selama rezim ini, yang akhirnya runtuh pada tahun 1998. Untuk melindungi keberadaan klenteng-klenteng, suatu golongan baru yang mengangkat konsep “Tiga-Ajaran” muncul di Jawa Timur. Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma se-Indonesia, disingkat PTITD, didirikan di Surabaya pada tahun 196711, diketuai oleh Ong Kie Tjay (王基财). PTITD mengikuti karakteristik dasar GTI dari Jawa Barat, menjunjung tinggi elemen-elemen ketiga ajaran sementara mempromosikan identitasnya sebagai salah satu sekte Buddhisme, sebuah “agama” yang diakui secara resmi. PTITD mempunyai karakteristik yang menonjol sebagai organisasi payung yang bersifat protektif; ia mendeklarasikan klenteng-klenteng sebagai fasilitas-fasilitas “agama” yang sah, sementara menyatukan mereka di bawah kepemimpinannya.

            Dalam tahun 1979 ketika rezim Soeharto memasuki periode stabilitas dan kontrol negara terhadap klenteng-klenteng menjadi lebih intensif, organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” di Jawa Timur dan Jawa Barat digabungkan untuk membentuk sebuah organisasi terpadu bernama Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia). Organisasi ini berfungsi sebagai wadah tunggal, mewakili kepentingan-kepentingan klenteng-klenteng di seluruh Indonesia. Tentu saja, penggabungan ini sesuai dengan gejala pada akhir tahun 1970, ketika di bawah kepemimpinan rezim Soeharto suatu persyaratan dituntut di semua organisasi Buddhis di Indonesia untuk mengorganisirnya di bawah kerangka yang menyatukan12. Pada saat yang sama, penggabungan ini juga merupakan hasil dari usaha-usaha untuk mencari jalan bagi klenteng-klenteng untuk mempertahankan keberadaannya.

            Martrisia, yang berkantor pusat di Surabaya dan di dijalankan oleh beberapa anggota dewan pengurus, terutama dari Surabaya13, memfokuskan aktivitas-aktivitasnya untuk membujuk agen-agen pemerintah dan masyarakat Indonesia agar mengakui “Tri Dharma” sebagai agama yang diakui secara resmi, dan bahwa klenteng-klenteng atau “tempat ibadat Tri Dharma” adalah fasilitas keagamaannya. Akibatnya, PTITD jarang sekali mengorganisir aktivitas-aktivitas yang lazim diasosiasikan dengan organisasi keagamaan, seperti penetapan doktrin, standardisasi upacara-upacara, atau aktivitas-aktivitas untuk menyatukan klenteng-klenteng di bawah naungannya14. Situasi ini membuat frustasi anggota-anggota di Jawa Barat yang mempunyai sejarah kegiatan secara sistematis dengan harapan untuk mendirikian suatu “Agama Tionghoa”. Frustasi ini akhirnya mengakibatkan pemisahan secara serentak dari semua cabang di Jakarta dan Provinsi Jawa Barat dari Martrisia pada tahun 1997. Pada tahun 1999 cabang-cabang ini bersatu lagi sebagai Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia, yang setelah ini disebut sebagai “Majelis Tridharma, berkantor pusat di Jakarta (Satyadharma 2004: 9-15).

Dengan demikian dua organisasi “Tiga-Ajaran” hidup berdampingan, satu mewakili Jawa Timur dan yang lain mewakili Jawa Barat. Setelah tekanan kebijakan dari negara yang menargetkan “hal-hal berbau Cina” dan “agama” melonggar, dipimpin oleh beberapa pemimpin dari organisasi-organisasi ini, gerakan-gerakan telah berkembang untuk menetapkan doktrin dan standardisasi upacara-upacara. Dalam bab berikut, saya akan menyajikan secara detil gambaran dari gerakan-gerakan tersebut ke arah sistematisasi keagamaan, dengan menfokuskan pada masing-masing organisasi.

III. Penetapan Doktrin, Standardisasi Upacara-upacara

1. Menyusuri Jejak Langkah Kwee Tek Hoay: Majelis Tridharma

Majelis Tridharma, yang dibentuk hampir bersamaan dengan runtuhnya rezim Soeharto, adalah keturunan langsung dari Sam Kauw Hwee15 dibentuk oleh Kwee Tek Hoay. Seorang pemimpin dari organisasi ini menerangkan bahwa Majelis Tridharma melepaskan diri dari Martrisia karena ketiadaan “keimanan”. Dengan kata lain, mereka tidak puas karena usaha-usaha organisasi untuk mendirikan tonggak spiritual telah diabaikan16. Bagaimana, kemudian, organisasi ini sekarang mencoba untuk memperdirikan “keimanan”?

Artikel penting berjudul “Tridharma sebagai Satu Kesatuan” dipublikasikan dalam sebuah brosur untuk “Hari Tridharma” pada tahun 200917. Pengarangnya, Budiyono Tantrayoga, Pandita Utama dari Majelis Tridharma sampai 2010, memulai artikel ini dengan menyatakan adanya krisis di tengah-tengah arus perkembangan Tridharma dewasa ini. Ia menyatakan bahwa dalam masa “modernisasi” dan “komputerisasi”, hal-hal prinsip yang seharusnya dijaga keutuhannya semakin surut, dan bahwa orang-orang dialihkan kepada pemikiran untuk lebih bangga menjadi seorang Buddhis ketimbang menjadi Tridharmais. Menurut Budiyono, Buddhisme hanyalah sebuah bagian dari Tridharma. Namun, orang-orang sekarang cenderung untuk menjadi penganut-penganut Buddhisme, bukan penganut-penganut Tridharma. Ia menuntut bahwa “ke-Tridharma-an” – suatu keadaan dimana ketiga ajaran bersama-sama melengkapi satu sama lain dan membentuk Satu Hakekat – harus dibentuk, dihayati, dan dijalani sebagai hakekat kehidupan. Dalam bagian belakang dari artikel ini, ia menerangkan bahwa unsur-unsur penting dalam ketiga ajaran masing-masing yang mengajarkan proses pencapaian tujuan maupun hakekat penghayatan, sesunguhnya memiliki banyak ragam kesamaan filosopis. Ia menyajikan tabel di bawah ini untuk menunjukkan korelasi di antara ketiga ajaran.

Padanan Yang Lima

Taoisme
Konfusianisme
Buddhisme
Five Phrases
(PancaBhuta/Lima Elemen/Ngo Heng)
Five Virtues
(PancaUtama/Lima Utama/Ngo Siang
Five Precepts
(PancaSila/Lima Sila/Ngo Kai)
Wood
(Mu/Bok/Kayu)
Benevolence
(Ren/Jin/Cinta Kasih)
No killing
(Tidak Membunuh)
Metal
(Cin/Kim/Logam)
Righteousness
(I/Yi/Kebenaran)
No stealing
(Tidak Mencuri)
Fire
(Huo/Hwe/Api)
Propriety
(Li/Lee/Susila)
No sexual misconduct
(Tidak Berjinah)
Water
(Sui/Cui/Air)
Wisdom
(Che/Ti/Kebijaksanaan)
No intoxicants
(Tidak memabukkan)
Earth
(Tu/To/Tanah)
Fidelity
(Xin/Sin/Dapat dipercaya)
No false speech
(Tidak Berdusta)

Budiyono menghubungkan komponen-komponen dalam setiap dari ketiga ajaran dengan padanan setara dengan tanda sama (‘=’). Misalnya, hubungan antara komponen-komponen dari baris ketiga dari tabel ditunjukkan sebagai “Orang yang gemar melakukan perjinahan adalah orang yang tidak susila. Yang tidak susila = orang yang kurang beretika – berarti kekurangan Api”. Ia membuktikan bahwa “Keterkaitan dari masing-masing unsur iniah yang merupakan Padanan Lima Tridharma yang ternyata mencerminkan Satu Hakekat. Dengan mengatakan demikian, ia menyimpulkan tidak dianjurkan bahwa seseorang hanya bersandar pada pengertian tentang Buddhisme, tetapi sebaiknya seseorang Tridharmais seharusnya melaksanakan ilmu kebatinan dari Taoisme, tata susila dari Konfusianisme dan disiplin dari Buddhisme dalam kehidupan sehari-hari.

            Bukanlah tujuan saya di sini untuk memperdebatkan keabsahan keagamaan dari doktrin Sam Kauw It Lee (三教一理). Namun, yang layak diperhatikan adalah usaha luar biasa yang dilakukan oleh pihak pemimpin dari organisasi ini untuk mendirikan “Ketiga-Ajaran” sebagai “agama” tunggal yang menyatu tanpa bersandar secara tidak seimbang pada ajaran Buddhis. Fakta bahwa artikel ini dipersiapkan sebagai sebuah artikel pengajaran untuk mengajar pemuda tentang esensi Tridharma mungkin juga penting18. Meskipun pengetahuan keagamaan yang berkenaan dengan Tridharma, munurut kebiasaan sejauh ini, diperoleh baik dengan belajar sendiri atau diturunkan melalui hubungan mentor yang tidak resmi, Majelis Tridharma saat ini mendirikan institut untuk kependetaan di Cipinang. Sekarang institusionalisasi dari metode untuk mengalihkan pengetahuan keagamaan, maupun sistemasisasi dari pengetahuan itu sendiri, sedang dalam proses, dan hal itu menunjukkan tanda yang jelas bahwa mereka yang dilatih secara resmi akan melaksanakan upacara-upacara dan berkhotbah mengenai Tridharma dalam klenteng-klenteng di seluruh Jawa Barat (Panitian Munas dan Kongres 2006)19.

2. Sebagai Lembaga Keagamaan yang Layak: PTITD Pusat

Menghadapi pemisahan dan gerakan yang giat dari para anggota di Jawa Barat (Majelis Tridharma) yang bermaksud untuk mendirikan “ke-Tridharma-an”, apa respons yang dilakukan oleh organisasi yang berbasis di Jawa Timur (PTITD-Martrisia), mulai sekarang disebut PTITD Pusat), yang sebelumnya tidak melakukan banyak aktivitas keagamaan? PTITD Pusat, yang di masa Soeharto menduduki posisi sebagai “wadah tunggal” yang mewakili klenteng-klenteng, rupanya masih harus mencari cara untuk keluar dari keadaan stagnan.

            Tentu saja, usaha-usaha telah dilakukan. Dalam bulan Nopember 2006 PTITD Pusat mengadakan musyawarah dan kongres nasional di Surabaya. Selama tiga hari kongres, penunjukan dewan pengurus telah diperbaharui untuk pertama kali sejak tahun 1988, dan target lima-tahun untuk program aktivitas (periode tahun 2006-2011) disajikan dengan tujuan untuk menciptakan satu gambaran organisasi yang cocok sebagai lembaga keagamaan yang “layak”20 (Panitia Munas dan Kongres 2006). Rancangan lima-tahun ini diatur dalam kategori-kategori utama termasuk (1) bidang organisasi dan keanggotaan, (2) bidang agama/ dharm/ kependetaan rohaniwan dan sarana keagamaan serta seni agama, (3) bidang ekonomi/ kesejahteraan umat/ pendidikan, dan (4) bidang hubungan luar negeri21. Kategori kedua secara jelas menggambarkan tujuan untuk sistemasisasi keagamaan. Sebenarnya separuh dari buku kecil berukuran A4 ini, yang dibagikan kepada para peserta di kongres, disajikan untuk instruksi manual sebanyak 40-halaman mengenai tatacara upacara Tri Dharma. Manual upacara (仪式唱礼) meliputi empat kategori, yaitu “Upacara sembahyang Tridharma terhadap Sin Bing”, “Upacara pelantikan pengurus Tridharma”, “Upacara perkawinan yang diselenggarakan di tempat ibadat Tridharma atau di aula” dan “Upacara sembahyang perkabungan secara Tridharma”. Kata-kata yang dibacakan – semuanya dalam bahasa Mandarin – oleh “Petugas Upacara (执事)” dan “Pimpinan Upacara (主祭官)” maupun tatacara yang akan dilakukan selama setiap upacara dicantumkan secara rinci. Tatacara ini meliputi “tigakali berlutut dan sembilan kali kowtow, begitu juga penyajian dupa dan teh dilakukan dalam urutan secara kronologis, dengan keterangan dalam bahasa Mandarin, dan di sampingnya ada pingyin, tullisan fonetik untuk membantu pembaca Indonesia, dan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Halaman-halaman terakhir dari masing-masing manual upacara ini dilengkapi gambaran layout dari barang-barang yang harus disajikan di altar utama untuk setiap upacara. Namun isi manual upacara ini belum tentu dilakukan secara seragam di setiap klenteng yang bergabung dengan PTITD. Sebaiknya setiap klenteng mempunyai tatacara spesifik untuk melaksanakan upacara yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya. Untuk menggambarkan hal ini saya akan memperkenalkan secara singkat tentang kasus klenteng di kota Rembang, Jawa Tengah, dimana saya telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun22.

            Di kota Rembang ada dua klenteng, yaitu Tjoe Hwie Kiong(慈惠宫) dan Hok Tik Bio (福德庙). Keduanya diurus di bawah satu yayasan sejak tahun 1978 (Tsuda 2011: Bagian 2). Dalam tahun 1970-an upacara-upacara di kedua klenteng ini hanya diurus oleh seorang bernama Cheng Shu Hong, yang membaca kalimat-kalimat doa (Surat Doa/ Cee Boen) dalam bahasa Hokkian ketika upacara-upacara sedang berlangsung. Ketika Cheng meninggal tahun 1980-an, kalimat-kalimat doa tidak dapat lagi dibacakan, karena tidak ada seorang pun yang mengerti arti kata-kata kalimat doa tersebut. Tan Ging Hwat, yang waktu itu bertugas sebagai sekretaris yayasan, dengan imaginasi bebas menciptakan kalimat-kalimat doa yang baru dalam bahasa Indonesia untuk menggantikan kalimat-kalimat doa dalam bahasa Hokkian. Sejak itu, selama upacara-upacara di kedua klenteng, kalimat-kalimat doa dalam bahasa Indonesia dipasang di altar dan dibacakan.  “Tradisi” ini berlangsung sampai sekarang23. Cheng dan istrinya juga bertugas menyiapkan semua sesaji makanan yang diletakkan di altar. Setelah dia meninggal, Hian Khing, asistennya, mengambil alih tugasnya. Namun, ketika Hian Khing menjadi tua, muncul kekuatiran bahwa semua pengetahuan mengenai persembahan akan hilang24. Karena itu, sekitar tahun 2000, Liong Kiam Kiat yang waktu itu baru saja mulai bertugas sebagai Locu(炉主)di Tjoe Hwie Kiong, mencatat jenis  dan pengaturan posisi dari sesaji seperti yang diajarkan oleh Hian Khing. Kemudian Liong Kiam Hwat menyusun “Daftar Sesaji Sembahyangan untuk Klenteng ‘Tjoe Hwie Kiong’ dan ‘Hok Tik Bio” (Yayasan Dwi Kumala Rembang n.d.). Saat ini, orang yang mengatur sesaji adalah petugas yayasan yang mengatur upacara-upacara (seksi sembahyangan). Ini bukanlah warisan atau kedudukan seumur hidup, petugas bisa berganti seiring dengan pergantian kepengurusan. Pengaturan altar telah dilaksanakan sesuai dengan “Daftar Sesaji Sembahyangan” sebagai panduan sejak tahun 200125.

Namun, “tradisi-tradisi” seperti ini yang telah diturunkan dalam komunitas secara alamiah sama sekali tidaklah bersifat statis. “Kurangnya keyakinan” masyarakat terhadap pengetahuan upacara-upacara itu sendiri seringkali mengakibatkan secara tidak langsung  perubahan-perubahan. Misalnya, tentang sesaji untuk upacara tahunan yang diadakan pada hari ke-9 Imlek (敬天公, King Thi Kong), masyarakat Tionghoa di Rembang telah mempunyai suatu “tradisi”. Namun, pada suatu hari di tahun 2001, Liong, orang yang telah menyusun “Daftar Sesaji Sembahyangan” menemukan sebuah buku kecil tua berjudul “King Thi Kong26 milik kerabatnya di kota. Dalam buku kecil ini, satu macam kue bernama “bie-koogunungan wajik”) digambarkan sebagai sesaji yang diwajibkan untuk upacara ini, tapi sejauh ini tidak dimasukkan dalam “tradisi” Rembang. Sejak saat itu, gunungan wajik ditambahkan pada altar di kedua klenteng, untuk memenuhi pedoman yang “lebih tua dan benar”27. Dari contoh ini kita bisa mengetahui bahwa “tradisi-tradisi” telah diturunkan dalam klenteng masing-masing dan komuniats sekitarnya. Namun, karena kekurangan akan basis pengetahuan yang kuat di mana masyarakat dapat percaya ketika mencari informasi mengenai upacara dan semacamnya, “tradisi” itu sendiri tergantung pada pengaruh-pengaruh. Pengaruh ini meliputi berbagai penafsiran, sumber literatur yang kelihatannya otentik, dan “orang-orang yang pandai” (bahkan termasuk mereka yang dianggap “paranormal”), sehingga pengetahuan tentang upacara-upacara28telah berubah-ubah secara terus-menerus.

            Dalam hal kasus di Rembang, dimana usaha-usaha telah dilakukan untuk menurunkan prosedur-prosedur upacara dalam komunitas Tionghoa di sekitar klenteng, sangat sedikit kemungkinan untuk mengikuti secara cepat standardisasi prosedur dan metode upacara yang diperkenalkan oleh PTITD Pusat atau organisasi lainnya. Namun pada saat yang sama, banyak klenteng saat ini menghadapi situasi dimana tidak ada seorang pun yang mempunyai pengetahuan konkrit mengenai prosedur upacara, atau orang yang bertanggung jawab untuk upacara telah mencapai usia tua. Dengan demikian, masyarakat mempunyai rasa ketidakpastian tentang keberlangsungkan praktek upacara di klenteng mereka. Dalam hal Rembang, pengetahuan tentang upacara telah berhasil diturunkan di dalam komunitas dengan diciptakannya kalimat-kalimat doa yang baru dalam bahasa Indonesia dan disusunnya “Daftar Sesaji Sembahyangan”, tetapi kasus seperti di Rembang adalah hal yang tidak umum terjadi29. Saya menghipotesa bahwa ada sejumlah besar klenteng dimana mereka menginginkan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam hal bagaimana melakukan praktek-praktek upacara. Bila memang demikian, waktunya akan tiba ketika manual instruksi upacara yang disediakan oleh organisasi payung seperti PTITD Pusat akan mempunyai pengaruh yang kuat.

3. Penafsiran Baru tentang “Tri Dharma”: PTITD Komisaris Daerah Jawa Tengah

Berhubung PTITD Pusat di Surabaya tidak mampu sepenuhnya melakukan kepimpinan secara organisasi, PTITD Komisaris Daerah Jawa Tengah, yang setelah ini disebut sebagai “PTITD Komda Jateng, telah mulai berjalan sendiri.

            Jawa Tengah adalah wilayah dengan banyak klenteng-klenteng, dan sebagian besar dari mereka bergabung dengan PTITD Komda Jateng30. Selama masa Soeharto tidak banyak aktivitas di PTITD Komda Jateng, yang tetap menjadi bawahan dari PTITD Pusat di Surabaya, dan melakukan tugas utamanya dalam memberikan payung hukum di daerah administratif Jawa Tengah. Namun, setelah memasuki masa pasca Soeharto, aktivitas mereka telah hidup kembali sejak David Herman Jaya (Liem Wan King, 1952), yang menjalankan bisnis penjualan mobil di Magelang, mengambil peranan sebagai ketua cabang. Sebuah catatan penting adalah pemberian sertifikat kepada 73 orang Pandita Tri Dharma baru yang dilakukan oleh PTITD Komda Jateng pada bulan Juni 2007. Acara ini dilakukan untuk menjawab “banyaknya permintaan umat untuk pelayanan Upacara Perkawinan, Upacara Perkabungan, khotbah-khotbah, crtmah-cermah seminar-seminar (Martrisia Komda Jateng 2007: 1). Sebuah buku pedoman yang disusun khusus untuk acara ini meliputi antara lain: peraturan yang harus ditaati oleh Pandita (ketuntuan-ketuntuan umum), manual untuk perkawinan dan contoh-contoh khotbah yang diberikan selama upacara perkawinan, formulir sertifikat pernikahan 31, dan hal-hal yang harus dipahami mengenai kelahiran dan perkabungan. Sebelum upacara pemberian sertifikat, sebuah pelatihan berdasar pada buku pedoman telah dilakukan juga32.

            Kemudian dalam tahun 2009 diadakan konferensi untuk mengumpulkan Pandita-pandita yang baru diangkat oleh PTITD Komda Jateng. Di konferensi itu diakui bahwa klenteng-klenteng yang tersebar di Jawa Tengah masing-masing mempunyai cara sendiri dalam melakukan upacara dan doa kepada dewa-dewa, maka standardisasi menjadi sulit dilaksanakan. Meskipun demikian David Herman Jaya mengusulkan bahwa sedikitnya mencapai kesepakatan bersama bahwa doa ditujukan pada hanya satu Tuhan, “Tian” (天). Sebetulnya konsep “Tian” sebagai Tuhan adalah bukan suatu konsep baru. Terutama selama masa Soeharto, hal ini telah ditekankan sepenuhnya di dalam klenteng-klenteng, sesuai dengan prinsip pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Tsuda 2011: 80-81). Yang menariknya adalah usulan lain yang diajukan oleh Herman Jaya selama konferensi, agar mengubah penafsiran Tri Dharma, yang tadinya secara jelas berarti ketiga ajaran dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taosime, menjadi Jiwaku, Hatiku, Dharmaku. Dengan Konfusianisme secara resmi kembali diakui pemerintah sekitar tahun 2006, aktivitas dari berbagai sekte Taoisme secara tiba-tiba dihidupkan, sementara berbagai organisasi Buddhis telah lama berjalan dengan baik dan kokoh. Dalam situasi demikian, kebutuhan mendesak muncul untuk menetapkan sebuah “ke-Tri Dharma-an” baru untuk menghindari gambaran “Tri Dharma” sebagai gado-gado dari ketiga “agama” ini. Usul ini yang dikatakan sebagai usul yang berasal dari Herman Jaya, diterima oleh para Pandita Tri Dharma. Sekarang definisi baru dari Tri Dharma ini mulai secara resmi diakui oleh PTITD Komda Jateng33.

            Seperti yang kita lihat, meskipun PTITD Komda Jateng adalah bawahan dari PTITD Pusat di Surabaya, dengan adanya kepemimpinan yang kuat, ia tidak puas lagi berfungsi sebagai organisasi paying dari klenteng-klenteng. Nampaknya, cabang organisasi ini ber usaha secara intensif untuk mendirikan sebuah orde “keagamaan” dengan membuntuk  fondasi baru34.

4. Latar Belakang Sistemasisasi “Agama Tionghoa”

Setelah keruntuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, organisasi-organisasi yang bertugas untuk melindungi klenteng-klenteng telah kehilangan raison d’etre. Mereka kemudian menghadapi kenyataan bahwa mereka kekurangan formalitas yang layak sebagai orde keagamaan. Di satu sisi berbagai organisasi seperti Konfusianis dan Taois yang sebelumnya tidak bisa melakukan aktivitasnya secara terbuka, sekarang mulai berusaha untuk membuat keberadaan mereka diketahui. Dalam hal Konfusianisme, doktrin dan upacara mereka telah dilengkapi dengan formalitas yang rapi sepanjang sejarah sejak awal abad ke-20. Begitu juga Taoisme, beberapa dari mereka mulai memegang contoh-contoh yang kuat sebagai referensi mereka masing-masing,  dengan membuka hubungannya secara independen dengan organiassi-organisasi di daratan China atau Singapura (Tsuda 2012b: 395-396). Dalam situasi ini, meskipun telah diakui sebagai organisasi keagamaan selama bertahun-tahun dan klenteng-klenteng di seluruh negeri secara nominal ada di bawah naungan mereka, kedua organisasi yang mengakui “Tiga-Ajaran” juga menghadapi kenyataan bahwa “keimanan” mereka dipertanyakan.

            Majelis Tridharma di Jawa Barat, yang berbangga bahwa sampai taraf tertentu berhasil menentukan “keimanan” sebagai “Agama Tionghoa”, dengan cepat sadar akan situasi kritis ini, dan telah memilih untuk mengikuti jalur yang dirintis oleh Kwee Tek Hoay.

PTITD Pusat di Jawa Timur, yang menghadapi kenyataan ditinggalkan anggota-anggotanya di Jawa Barat dan agak terlambat untuk mulai mencari cara merespons situasi ini, telah terinspirasi dengan suksesnya organisasi-organisasi lain yang mendukung “Agama Tionghoa”. Untuk melindungi persatuan mereka, PTITD Pusat rupanya memfokuskan secara khusus dengan menyediakan instruksi-instruksi dan pengetahuan khusus yang berhubungan dengan upacara-upacara di klenteng-klenteng.

PTITD Komda Jateng sedang mencoba memperluas otonominya sementara menghindar dipisahkan oleh kekuatan-kekuatan dari ketiga “agama” yang berbeda dengan mendirikan penafsiran baru atas apa “Tri Dharma” itu.

Seperti diuraikan di atas, organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” yang mengalami kebebasan yang makin meningat dalam akitivitas mereka di tengah-tengah suasana sosial politik dalam masa sesudah rezim Soeharto, sedang menghadapi tekanan yang makin memuncak untuk membentuk raison d’etre baru. Ini diperlukan dalam hal formalitas dari organisasi-organisasi keagamaan dan sistematisasi “keimanan” mereka sebagai orde keagamaan. Dan dengan kebebasan yang semakin meningkat, nampaknya organisasi-organisasi didesak memperlihatkan raison d’etre mereka bukan lagi terhadap negara, melainkan terhadap organisasi-organisasi “Agama Tionghoa” yang saling bersaing.

Untuk mempertimbangkan perkembangan setiap organisai menuju pelaksanaan dari penetapan doktrin dan standardisai upacara dengan caranya masing-masing, perlu dipertanyakan apakah “keimanan” yang secara tegas disusun sebenarnya perlu untuk praktek keagamaan di klenteng-klenteng. Untuk membuat pertanyaan lebih mudah dimengerti, mungkin perlu menjajarkan konsep-konsep klasik yang bertentangan, yaitu “agama wahyu (revealed/ founded religion)” dan “agama alam (natural/ folk religion)”. Bila kita mengadakan hipotesa bahwa dalam praktek keagamaan di klenteng-klenteng tekanan yang lebih besar ditempatkan pada “agama alam”, maka menjadi jelas bahwa pencarian untuk sebuah sistem keagamaan yang solid adalah sebuah lompatan yang besar. Terlebih lagi, hipotesa ini menampakkan bahwa pengertian “Tiga-Ajaran” itu sendiri menunjukkan usaha untuk menerangkan “agama alam” melalui pola pikir “agama wahyu”. Yaitu dengan teliti mengidentifikasikan sistem kegamaan yang tak bias dipisahkan dari adat dengan telah lama ditanamkan dalam masyarakat, lalu mendifinisikannya berasal dari ketiga elemen Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, lalu kemudian menggarisbawahi sinkretisasi ketiga elemen tersebut. Metode ini yang menerangkan konsep “Tiga-Ajaran” adalah penjelasan berputar-putar, namun dalam kenyataannya bahwa mereka melakukan usaha besar untuk semakin memurnikan metode penjelasan ini, kita dapat melihat historisitas dalam konsep “agama” yang telah dipelihara oleh modernitas kolonial dan konteks sosial politik Indonesia abad ke-20 yang sangat unik35. Selama rezim Soeharto berlangsung lebih dari tiga dekade, prinsip-prinsip unik yang menggambarkan “apa seharusnya agama itu”, yang cendurung dibentuk dari sudut pandang “agama wahyu” yang bersifat monotheis, telah benar-benar  ditanamkan baik secara kelembagaan maupun secara sosial. Dalam situasi ini, organisasi-organisasi keagamaan mau tidak mau menyadari sepenuhnya akan kurangnya sistematisasi “keimanan”. Dan kurangnya sistematisasi itu kemudian dapat menyebabkan tekanan pada organisasi itu sendiri.

Pada tingkatan yang lain, kekuatiran yang umum di dalam masyarakat etnik Tionghoa dewasa ini adalah semakin banyak orang, terutama generasi muda, beralih kepercayaannya. Mereka menganggap kepercayaan yang berpusat pada klenteng-klenteng36sebagai kuno dan tidak keren, dan mereka berangsur-angsur beralih ke agama lain seperti Nasrani, yang dianggap lebih bersifat mutakhir baik dalam bentuk luar dan keimanan37. Walaupun kebebasan beragama makin bertambah di masa pasca Soeharto, tekanan ini telah berlanjut dan berkembang. 
IV. Sumber-sumber Pengetahuan Keagamaan

1. Sumber-sumber Intelektual

Dalam masa pasca Soeharto, dan ditambah oleh faktor-faktor seperti pengakuan resmi terhadap Konfusianisme dan membangkitnya organisasi-organisasi Taosime, konfigurasi dalam “Agama Tionghoa” mengalami perubahan besar. Di bawah tekanan untuk mereorganisasi, organisasi-organisasi ini sibuk melakukan sistematisasi untuk memperoleh kemajuan sambil mempertahankan persatuan. Lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk menyajikan kesimpulan yang komprehensif tentang situasi yang berlangsung ini. Namun sebagai studi awal, jika kita memperhatikan sumber-sumber pengetahuan bagi organisasi-organisasi masing-masing dalam usaha reorganisasi ini, akan menyoroti beberapa karakteristik dari gerakan ini ke arah sistematisasi keagamaan.


a) Majelis Tridharma
Garis silsilah Sam Kauw Hwee yang didirikan oleh Kwee Tek Hoay, diturunkan ke Majelis Tridharma di Jawa Barat. Setelah kematian Kwee, Maha Pendeta Sasanaputera Satyadharma38 memainkan peranan penting untuk mendukung aspek-aspek ideologi organisasi sampai sekarang. Karakteristik yang menonjol dalam tulisan-tulisannya adalah penekanan bahwa Tridharma sebagai agama yang unik di Indonesia, yang lahir sebagai respon terhadap peralihan agama secara besar-besaran dari orang Tionghoa pengikut Buddhis ke Kristen sejak akhir abad ke-19, dan kegagalan gerakan di awal abad ke-20 yang mengubah ajaran-ajaran Konfusius menjadi “Agama Tionghoa” (Satyadharma 2004: 6). Ia kemudian menyebutkan beberapa tokoh utama dalam sejarah China seperti Lu Dongbin (吕洞宾), Wang Chongyang (王重阳), Li Chunfu (李纯甫) dan Zhu Xi (朱熹), yang biasanya disebut ketika membicarakan akar filosofi dari “Tiga-Ajaran” di luar Indonesia (Satyadharma 2004: 6). Namun, tidak jelas apakah ada hubungan langsung yang konkrit antara filosofi dari tokoh-tokoh ini dan Majelis Tridharma. Sesungguhnya Majelis Tridharma tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka hubungan organisasi atau persekutuan dengan organisasi-organisasi di China atau di tempat lain. Sebaliknya mereka bekerja untuk memurnikan jalur yang telah dirintis oleh Kwee.

b) PTITD Pusat
Oei Bie Ing yang sampai kematiannya dalam tahun 2001, menjabat bertahun-tahun sebagai Wakil Ketua dan Ketua Bidang Agama di PTITD Pusat, dalam tulisan-tulisannya mendebat bahwa praktek kepercayaan di klenteng-klenteng berasal dari agama kuno dari Timur (Agama Timur Kuno/ Paleo Orientalik) (Oei n.d.). Tentu saja, cakupan keagamaan yang dijelaskannya seperti ini berasal jauh sebelum Kwee Tek Hoay39. Memperkenalkan Tri Dharma sebagai bentuk keagamaan terhadap “Roh Suci”, sesuatu yang fundamental dan universal untuk semua manusia dan karena itu bukan sesuatu yang harus segera disingkirkan, melengkapi argumentasi yang diulangi oleh organisasi ini dalam dokumen-dokumen resminya selama pemerintahan rezim Soeharto (Tsuda 2012b: 392). Dari pandangan ini PTITD Pusat agaknya mengekor di belakang Majelis Tridharma dalam membentuk doktrin konkrit. Namun, PTITD Pusat selangkah lebih ke depan dalam hal standardisasi upacara-upacara, yang disahkan dengan menunjukkan kebenarannya melalui keagamaan universal (pemujaan Roh Suci) dari seluruh manusia (terutama di “Timur”). Diperdebatkan bahwa organisasi secara konsisten menekankan orthopraxy sebagai pelengkap untuk “keimanan” sejak masa Soeharto sampai sekarang. Namun PTITD Pusat pun mempunyai kebutuhan mendesak untuk mendirikan orthodoxy yang bersifat doktrin40.

c) PTITD Komda Jateng
            Seperti disebutkan sebelumnya, PTITD Komda Jateng telah mengeluarkan suatu penafsiran baru tentang Tri Dharma. Selain itu PTITD Komda Jateng baru-baru ini telah menerbitkan serangkaian buku-buku tentang pengetahuan yang lebih konkrit meliputi berbagai topik termasuk garis pedoman doktrin dan praktek. Sebuah contoh adalah buku berjudul “Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa”. yang diterbitkan pada tahun 2011. Buku berhalaman 300 lebih yang dilengkapi dengan tinjauan luas tentang Tri Dharma dan setiap dari ketiga ajaran, diikuti dengan penjelasan tentang perayaan-perayaan traditional (“hari perayaan rakyat”), cara-cara doa (pernak-pernik pemujaan),  uraian dan komentar detil tentang berbagai simbol kebudayaan (lambing-lambang dalam kelenteng) seperti naga, quilin dan Bagua (八卦), dan diakhiri dengan garis pedoman singkat untuk mempraktekkan disiplin diri (“pembinaan diri”) sebagai umat Tri Dharma yang baik. Buku ini agaknya ditulis untuk menjawab langsung kebutuhan-kebutuhan umat Tri Dharma yang mencari pedoman pengetahuan dan praktis41. Selanjutnya ada sebuah buku yang tebal yang baru-baru ini diterbitkan oleh PTITD Komda Jateng berjudul “Dewa-dewi Tridharma”. Buku ini memilih lebih dari 140 dewa-dewi yang ditempatkan di klenteng-klenteng Tionghoa dalam kategori-kategori, seperti dewa-dewi yang berasal dari Buddhisme, Taoisme maupun yang berasal dari kepercayaan rakyat, dilengkapi dengan komentar-komentar pada legenda dan kekuatannya42. Selanjutnya PTITD Komda Jateng telah membagikan sebuah buku kecil (Kumpulan Surat-surat Doa) yang berisi kalimat-kalimat doa yang digunakan untuk semua festival musiman dan upacara-upacara yang berhubungan dengan dewa-dewa yang dirayakan  di Hok Tek Tong (福德堂)  di Parakan, Jawa Tengah pada tahun 2007. Semua surat-surat doa ini dibuat oleh Tan Sioe An (Handoko), yang lahir tahun 1951 di Parakan, dan mereka semua mempunyai struktur dasar yang awalnya terdiri dari tiga kali nyanyian, “Aum Ah Hum”, diikuti oleh doa dalam bahasa Indonesia, dan ditutup dengan tiga kali nyanyian, “Sian Cay”. Tan adalah pengarang teks yang disiapkan untuk upacara pemberian sertifikat kepada Pandita di PTITD Komda Jateng, dimana ia mengutip secara luas dari buku komersial tentang Feng Shui (风水). Dalam buku itu Tan melengkapinya dengan informasi topik seperti Lima Frasa (五行Wuxing) untuk mengenal alam semesta, Delapan Huruf (八子Bazi) untuk meramal, dan bagaimana memilih nama Tionghoa yang baik untuk seorang bayi (Martrisia Komda Jateng 2007: 23-26). Pendek kata, PTITD Komda Jateng, dengan sejemulah kecil intelektualnya seperti Tan Sioe An dan Kwa Tong Hay43 memberikan dukungan intelektual dalam hal doktrin dan praktek upacara-upacara.

2. Titik-titik Referensi untuk “Cara yang Benar”

Dalam sistematisasi keagamaan mereka, tidak satupun dari organisasi-organisasi itu yang mencari pengetahuan atau titik-titik referensi dengan melihat ke tempat-tempat yang umumnya dianggap sebagai “pusat Peradaban Tionghoa”, yaitu China dan Taiwan, ataupun juga Hong Kong dan Singapura. Bahkan, tidak ada tanda-tanda bahwa organisasi-organisasi ini mengembangkan persekutuan degan sekte di luar Indonesia. Salah satu alasan adalah rintangan Bahasa (Tsuda 2012a: 191-192), tetapi alasan yang lebih penting adalah bahwa semua organisasi ini telah/ sendang mencari “cara yang benar” dalam masing-masing pengertiannya. Adalah benar bahwa di sepanjang sejarah modern dan kontemporer, gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menyusun (kembali) berbagai tradisi, kepercayaan, atau bahkan lingkup dari “agama” itu sendiri sebagai “Agama Tionghoa” berkembang di seluruh China daratan dan Asia Tenggara (Duara 2008; Yang 2008). Namun, berbagai organisasi (sekte) Indonesia yang telah sukses didirikan melalui gerakan-gerakan ini telah difokuskan secara lokal, membuat konsesi-konsesi untuk menanggulangi situasi social politik local/ nasional, dan melihat ke dalam dari pada ke luar, dalam usaha mereka mempertahankan atau mencari “cara yang benar” yang dapat diterima oleh standard masing-masing. Dalam hal demikian, meski barangkali ada sebuah organisasi (sekte) dari luar menjunjung tinggi fusi dari elemen keagamaan yang sama dengan menggunakan istilah seperti “Kesatuan dari Tiga-Ajaran” (三教合一) atau “Tiga-Ajaran Bergabung menjadi Satu” (三教归一), bukan suatu opsi bagi organisasi Tiga-Ajaran di Indonesia untuk mengimpor penafsiran doktrin dan metode upacara secara keseluruhan, meskipun mereka mungkin dapat meminjam sedikit fragmen/ kepingan. Majelis Tridharma adalah contoh utama dalam hal ini. Bagi mereka “cara yang benar” adalah sesuatu untuk dicari di dalam sumber-sumber pokok mereka, yaitu ajaran-ajaran dan kitab-kitab suci dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, begitu juga tradisi-tradisi keagamaan yang diturunkan dari Kwee Tek Hoay. Dengan demikian sebetulnya tidak ada keharusan bagi mereka untuk mencari apa yang disebut “arus utama dari tradisi Tionghoa asli”.

3. Disparitas Pengetahuan dan Penyebaran rasa “Kekurangan Keyakinan”

Isi dari pengetahuan keagamaan yang perlu sekali bagi orde-orde keagamaan ini dipertahankan oleh sejumlah kecil intelektual. Situasi seperti ini mungkin bukan hal-hal yang unik dalam keagamaan secara umum. Namun, suatu karakteristik yang jelas dari “Agama Tionghoa” di Indonesia yang kontemporer adalah disparitas yang ektrim dari pengetahuan yang bukan hanya dalam bidang keagamaan dalam pengertian sempit, melainkan dalam bidang yang lebih luas meliputi “hal-hal yang terkait dengan Tionghoa” termasuk adat, tradisi dan filsafat (bahkan bagaimana memilih nama Tionghoa yang baik bagi seorang bayi). Salah satu alasan utama untuk hal ini di Indonesia saat ini mungkin adalah bahwa informasi tentang “kebudayaan Tionghoa” tidak disebarkan secara luas atau dengan bentuk mudah dibaca masyarakat; memang bahan-bahan cetakan semacam itu sangat terbatas dan kebanyakan mereka tidak dalam bahasa Indonesia. Meskipun larangan untuk bahan-bahan cetakan beraksara Mandarin sudah dihapuskan dalam masa pasca Soeharto, jumlah orang yang bisa membaca bahasa Mandarin sangat terbatas (Tsuda 2012a: 191-192). Selain itu, penindasan terhadap maupun penahanan diri diantara etnik Tionghoa selama rezim Soeharto, dan meningkatnya kecenderungan untuk melepaskan diri dari “kebudayaan Tionghoa” terutama di antara kaum muda, merupakan isu fundamental. Dengan demikian, pengetahuan tentang “kebudayaan Tionghoa” tidak lagi tersebar dalam banyak masyarakat etnik Tionghoa. Seperti yang saya diskusikan di atas dalam studi kasus dari klenteng-klenteng di Rembang, sejumlah besar etnik Tionghoa tidak bisa menjawab dengan penuh keyakinan atau menunjuk pada sumber yang nyata ketika ditanya apakah sebenarnya “ajaran yang benar” dan apakah sebenarnya “cara yang benar” untuk melaksanakan ritual dari “Agama Tionghoa”. Situasi ini memungkinkan bagi sejumlah intelektual memainkan peranan penting dalam membentuk kembali “Agama Tionghoa”. Fakta bahwa mereka mengakui ketidakmampuan untuk mempertahankan pengetahuan keagamaan sebagai sesuatu yang “tertanamkan dalam masyarakat”, dan mengakui pula keadaan seperti itu sebagai masalah serius, yang telah mendorong sejumlah organisasi keagamaan untuk berusaha mensistematisasikan pengetahuan doktrin dan prosedur upacara, seakan-akan mengkompensasi apa yang telah hilang. Pengetahuan dalam konteks ini meliputi tidak hanya doktrin-doktrin dan prosedur upacara yang menunjang organisasi-organisasi keagamaan, tetapi juga hal-hal yang lazim dikategorikan sebagai “budaya”, seolah-olah memunuhi informasi mengenai bidang-bidang dimana masyarakat mengalami “kekurangan keyakinan”. Dengan ini lingkup dari “Agama Tionghoa” mempunyai potensi untuk menyebar dan mengatur kembali lingkup yang jauh lebih luas bahkan meliputi “budaya Tionghoa” itu sendiri.

            Pada awal artikel ini saya menyebutkan penyembahan dewa-dewa denganmenggunakan dupa dan kertas sebagai praktek yang umum di klenteng-klenteng saat ini.  Berbagai praktek ini masih dilakukan di bermacam daerah, meski variasi-variasi daerah maupun individu tetap ada. Hal ini, bila dipertimbangkan secara terpisah, rupanya mendukung argumentasi terkenal dari James Watson yang menitikberatkan betapa kuatnya aspek praktek di dalam upacara-upacara Tionghoa (Watson 1988)44. Dengan meminjam argmentasi tersebut, kita tergoda untuk segera menyimpulkan bahwa aktivitas dari berbagai organisasi keagamaan yang disebutkan secara detil disini sebenarnya sangat jauh dari realitas orang-orang sehari-hari. Argumentasi saya pada akhir Bab III dalam artikel ini  mungkin saja dapat ditafsirkan bahwa organisasi yang membawahi klenteng-klenteng di tiga daerah di Jawa, bila dipandang secara sangat sinis, sedang mencoba untuk mensistematisasi keagamaannya dengan menstandardisasi doktrin dan upacara-upacara untuk memperbaiki penampilan luar mereka sepaya bisa bersaing dengan agama-agama lain atau organisasi keagamaan lain45. Namun, pandangan semacam ini bersifat sepihak dalam pengertian kenyataan. Sebaliknya saya kira organisasi-organisasi ini tidak hanya melihat pada organisasi-organisasi lain, tetapi secara aktif mencoba mengamati dan menyesuaikan diri pada keadaan sebenarnya di dalam masyarakat etnik Tionghoa. Jika kita melihat gerakan organisasi-organisasi ini ke arah sistematisasi keagamaan sebagai usaha-usaha mereka untuk menjawab rasa “kekurangan keyakinan” dari etnik Tionghoa mengenai doktrin dan upacara, dapatlah kita simpulkan bahwa ini bukanlah persoalan yang memilih ini atau itu:  organisasi-organisasi tidak harus memilih antara “penafsiran doktrin yang benar” (orthodoxy) dan “praktek upacara yang benar” (ortopraxy). Organisasi-organisasi ini yang menganggap diri mereka mempunyai pengetahuan keagamaan, sedang mencoba untuk mengemukakan kembali “Agama Tionghoa” dari segi baik ideologi (isi) maupun praktek (bentuk), bahkan dari segi “budaya”. Nampaknya, mode keagamaan ini, yang telah menjaga eksestensinya serupa “agama alam” yang tertanam secara social, sedang dilengkapi dengan konsep yang punuh kesistematisan dan melengkapi masyarakat dengan prinsip-prinsip pembimbingan dari sudut pandang baik “orthodoxy yang benar” maupun “orthopraxy yang benar”.

            Jangkauan artikel ini terbatas pada pengenalan dan analisa dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para pemimpin organisasi keagamaan individu, terutama di masa pasca Soeharto, yang telah mengalami suatu pembebasan dalam ruang sosial. MBisakah organisasi-organisasi ini mendapat arti (raison d’etre) yang lebih kokoh, atau menyediakan arti (kebenaran) yang lebih bermakna terhadap klenteng-klenteng di bawah payung mereka maupun pengikutnya? Sebelum kita bisa memberikan sebuah jawaban yang konkrit, atau memastikan mode-mode baru keagamaan yang berkembang dari “Tiga-Ajaran” yang tersistematisasi, perlu diadakan penelitian yang lebih teliti lagi.



Pengakuan

Artikel ini adalah terjemahan langsung dari makalah yang diterbitkan dalam DORISEA Working Paper Series No. 18, berjudul “Systematizing ‘Chinese Religion’: The Challenges of ‘Three-teaching’ Organizations in Contemporary Indonesia” pada 2015. Makalah berbahasa Inggris tersebut dibuat melalui banyak penulisan kembali dari sebuah artikel yang sebelumnya diterbitkan dalam Journal of Chinese Overseas Studies Vol. 9 halaman 72-94, pada tahun 2012 dalam Bahasa Jepang. Penelitian ini ditunjang oleh Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) KAKENHI Grant Number 24710282.

Tsuda Koji adalah Associate Professor di Fakultas Antropologi, Universitas Tokyo. Penelitiannya sekarang difokuskan pada kehidupan sosial dan kepercayaan etnik Tionghoa dan representasi budaya di Indonesia modern.


Catatan kaki

1Dalam artikel ini, “Agama Tionghoa” merujuk kepada apa yang secara umum dianggap sebagai “agama-agama tradisional etnik Tionghoa”. Namun seperti yang dijelaskan dalam artikel ini, istilah ini sama sekali tidak mengacu kepada tradisionalitas dalam arti sebuah agama yang sejak masa lalu terus-menurus dijaga/ dipelihara dalam bentuk aslinya.
           
            2Lihat Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun 1988 tentang Penataan Klenteng yang menyatakan bahwa unsur-unsur yang terkait dengan klenteng-klenteng harus dihindarkan karena “tatabudaya asing” itu tidak sesuai dengan “kepribadian Indonesia”.

3Dalam proses ini, mereka memikirkan dan membentuk kembali sifat dan arti keagamaan dan upacara-upacara yang sampai titik itu telah diturunkan tanpa kesadaran untuk menyelidikinya. Sampai taraf tertentu, gerakan ini mempunyai kesamaan dengan penggeseran lingkup “agama” yang terjadi baik di daratan China dan di tempat lain. Gerakan ini adalah sebuah akibat dari “modernity” yang diwujudkan oleh “Barat”, yaitu masyarakat Kristen. Dalam pemikiran ini, seperti halnya konsep “bangsa Tionghoa” sebagai suatu golongan, konsep “agama” adalah sebuah penemuan baru pada pergantian abad ke-20 (Duara 2008: 54-64; Yang 2008).

4Ini tentu saja tidak berarti bahwa aktivitas-aktivitas keagamaan sama sekali tanpa pengawasan; tindakan keras terus dilakukan terhadap setiap aktivitas yang menyebabkan resiko terhadap “keamanan’ dan “ketatatertiban”. Selanjutnya, peristiwa-peristiwa seperti serangan terhadap suatu golongan yang dianggap sebagai Islam “bida’ah”, dan beberapa gereja Kristen yang berjuang untuk mendapatkan izin bangunan, menunjukkan adanya perselisihan agama yang semakinsengit. Dalam taraf tertentu, persoalan-persoalan ini telah dilepaskan dari genggaman negara ke bidang sosial, dimana mereka menyebabkan ketegangan di antara “sekte-sekte” atau dengan lingkungan penduduk sekitarnya (Hasan 2008).

5Organisasi-organisasi yang dibicarakan dalam artikel ini terbatas pada mereka yang berada di Jawa, yang merupakan pusat kegiatan politik, ekonomi dan sosial Indonesia. Ini disebabkan bahwa meskipun organisasi-organisasi yang mengatur klenteng-klenteng di banyak tempat di Indonesia mempunyai banyak cabang di luar Jawa, namun kantor pusat dan aktivitas mereka selalu dipusatkan di Jawa.

6Ada beberapa contoh tersendiri dari beberapa klenteng di ujung timur pelau Jawa. Didiskusikan bahwa beberapa klenteng di wilayah itu telah dibangun dengan cara “membagi abu (分香火)” dari sebuah klenteng utama (Salmon & Sidharta 2000). Meskipun demikian, hubungan sejarah di antara klenteng-klenteng yang tetap diingat sampai hari ini sangatlah jarang. Pengecualian ini termasuk Tay Kak Sie (大觉寺) dan Sam Poo Kong Bio (三保公庙) di Semarang, Jawa Tengah.

7Tridharma kadang-kadang dieja dalam dua kata sebagai “Tri Dharma”. Sebagaimana akan diterangkan kemudian, organisasi yang ikut dalam jajaran Sam Kauw Hwee, dan yang akan memperluas basisnya di Jawa Barat menggunakan “Tridharma” untuk menekankan kesatuan dari elemen-elemen ketiga ajaran, sementera organisasi yang berkembang kemudian di Jawa Timur telah menggunakan kata “Tri Dharma”.

8Meskipun detil-detil tepat dari mana Kwee mendapatkan pengetahuan tentang filosofi Tionghoa tidak jelas, ia terkenal telah dipengaruhi oleh karya dari J.J.M de Groot (1854-1921), Lin Yu Tang (林语堂, 1895-1976), dan juga oleh aktivitas-aktivitas Batavia Buddhist Association (Asosiasi Buddhis Batavia) dan The Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi) (Rees 1987: 66; 1989: 197-199, 203).

9Kwee nampaknya mengerti “Agama Tionghoa” yang terdiri dari dua tingkatan: tingkatan tinggi – “filosofi” meliputi ajaran-ajaran Shakyamuni, Konfusius dan Lao-tze – yaitu bagi mereka yang telah memperoleh tingkat yang lebih tinggi di dalam kesadaran spiritual, dan tingkatan rendah – “agama” yang berpusat pada penyembahan dewa-dewa dan leluhur. Awalnya Kwee mempunyai pandangan negatif terhadap “agama” dari sudut pandang memodernisasikan masyarakat Tionghoa. Namun, Kwee akhirnya berpikir bahwa penyembahan “agama” tidak seharusnya ditolak, sebab hal itu dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran bagi mereka yang berada di tingkat yang lebih rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi (Rees 1987: 65-66, 69-70).

10Di awal abad ke-20, Kekristenan dikaitkan secara kuat dengan kolonis Belanda, dan karena itu pengalihan ke Kristen dianggap sebagai kehilangan identitas etnik. Namun, dalam tahun 1930-an, mulai muncul pekabar-pekabar injil dan gereja-gereja yang khusus melayani etnik Tionghoa, dan penolakan terhadap pengalihan agama di antara etnik Tionghoa berangsur-angsur mulai menurun (Rees 1987: 41-46, 67, 73-76).

11Organisasi ini mula-mula dibentuk sebagai asosiasi klenteng-klenteng di propinsi Jawa Timur. “Se-Indonesia” tidak diterapkan dalam namanya sampai akhir tahun 1968.

12Sebagai bagian dari kebijakan untuk mengawasi agama-agama, dari sekitar tahun 1976 rezim Soeharto mendukung terbentuknya sebuah badan koordinasi di antara berbagai sekte-sekte Buddhis, dan di tahun 1979 WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) berhasil dibentuk. Sejak lahirnya WALUBI, Martrisia sudah menjadi anggota organisasi ini.

13Martrisia, yang dibentuk sebagai akibat dari penggabungan bagian rohaniwan-rohaniwan dari kedua organisasi di Jawa Timur dan Jawa Barat, secara de facto adalah kesatuan yang sama dengan PTITD; organisasi ini kadang-kadang menamakan dirinya sendiri “PTITD-Martrisia” ketika berhubungan secara ekternal dengan badan-badan pemerintah.

14Namun, banyak dari klenteng-klenteng yang bergabung dengan “Tri Dharma” mempunyai meja sembahyang tambahan dengan menempatkan “Tri Nabi (三教圣人)”, yaitu Shakyamuni, Konfusius dan Lao-tze (Tsuda 2012b: 392). Dalam hubungan ini kita dapat menyimpulkan bahwa Martrisia sebenarnya mempertahankan penampilannya sebagai sebuah orde keagamaan.

15Dalam kongres yang diadakan pada tahun 1976, yang tidak lama sebelum bergabung dengan PTITD di Surabaya, GTI, penerus langsung dari Sam Kauw Hwee, telah mengeluarkan sebuah resolusi yang mengakui Kwee Tek Hoay sebagai “Bapak Tridharma Indonesia” untuk menghormati sumbangan-sumbangannya demi perkembangan Buddhisme Indonesia, khususnya Tridharma. Dalam resolusi ini termasuk juga keputusan untuk merayakan hari ulangtahun beliau pada tanggal 31 Juli sebagai “Hari Tridharma”. GTI juga minta pengurus-pengurus dari klenteng-klenteng yang bergabung untuk memajang foto Kwee dalam klenteng mereka sebagai bentuk penghormatan kepadanya (Ruslim 200: 3-4).

16Catatan ini didasari sebuah wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2010 dengan Budiyono Tantrayoga. Pada tahun 1996 WALUBI mengalami konflik internal mengenai penafsiran AD/ART mereka. Kekacauan yang berlangsung mengakibatkan pembubaran organisasinya oleh beberapa anggota kepemimpinan pada tahun 1998, diikuti oleh pembentukan kembali sebuah organisasi baru (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), meskipun nama singkatannya tetap sama. Pada tahun 1999 beberapa organisasi Buddhis yang menentang WALUBI baru ini bergabung membentuk Konferensi Agung Sangha Indonesia, disingkat KASI. Dalam situasi inilah PTITD-Martrisia tinggal di dalam kerangka WALUBI yang baru, sedang Majelis Tridharma bergabung dengan KASI. Pecahnya organisasi “Tiga-Ajaran” yang tadinya menyatu tentu saja secara kompleks ada kaitannya dengan unsur-unsur politik dan pribadi, dan tidak seharusnya dipahami semata-mata sebagai akibat frustrasi terhadap kekurangan aktivitas-aktivitas keagamaan.

17Judul asli adalah “Tridharma sebagai Satu Kesatuan (Sam Kauw It Lee/ Tridharma Eka Marga)” (Panitia Peringatan Hari Tridharma 2009: n.pag.).

18Dalam kata pengantar dinyatakan bahwa artikel ini awalnya ditulis untuk dipresentasikan pada saat diadakan “Forum Penataran Pengasuh Sekolah Minggu dan Remaja Tridharma” yang diselenggarakan bulan Desember 2008 di Banten. Perlu dicatat bahwa Maha Pendeta Sasanaputera Satyadharma, yang saya perkenalkan kemudian dalam artikel ini, juga mendiskusikan “Sam Kauw It Li” (Satyadharma 2004: 17-22). Karena itu cara penjelasan yang dilakukan dalam artikel ini yang menyinggung korelasi di antara ketiga ajaran, tidak dapat diasumsikan sebagai ciptaan asli oleh Budiyono. Perlu dicatat juga bahwa menurut Budiyono, karena kitab suci sudah ada untuk setiap ajaran dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, Majelis Tridharma saat ini tidak mempunya rencara untuk menciptakan kitab suci baru sendiri dengan menghimpun ketiganya. Budiyono menyatakan bahwa, jauh sebelum zamannya Kwee Tek Hoay, upacara-upacara telah lama terus-menerus dilaksanakan sesuai dengan setiap ajaran, dan bahwa upacara-upacara tersebut berada dalam suatu keadaan terpadu yang tidak terpisahkan ke ajaran masing-masing.

19Catatan ini berdasar pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2010 di kantor Budiyono Tantrayoga.

20Perlu dicatat bahwa keputusan untuk mengadakan kongres agak terlalu tergesa-gesa, karena kepemimpinan di Surabaya didorong oleh keadaan mendesak untuk menghadapi gerakan dari Majelis Tridharma yang baru dibentuk, dan juga perkembangan organisasi-organisasi Konfusianis dan Taois yang telah giat melakukan aktivitas-aktivitas sejak awal tahun 2000-an (Tsuda 2012b: 395-396). Dengan demikian, kategori-kategori yang dinyatakan sebagai rancangan program lima-tahun nampaknya tidak secara teliti direncanakan, dan tidak direalisasikan sampai sekarang.

21Dalam kategori kedua “bidang agama/ dharma/ kependetaan rohaniwan dan sarana keagamaan, serta seni agama” jumlahnya ada 19 sub-kategori, termasuk menetapkan/ menyusun “buku pedoman Tridharma”, “bahan pedoman ceramah dan upacara dalam bentuk multimedia”; mengadakan kunjungan antar TITD (baca: klenteng-klenteng) dengan mengikutsertakan Umat; dan membentuk kegiatan kebaktian Minggu atau pada tanggal 1 dan 15 Imlek. Dalam kategori terakhir “bidang hubungan luar negeri” hanya dinyatakan: “membuka jalur hubungan luar negeri yang berkaitan dengan Keagamaan Tridharma dalam era globalisasi”.

22Meskipun kedua klenteng di Rembang tidak berafiliasi dengan PTITD (Tsuda 2011: 101-102), kasus yang disebutkan di bawah akan menyoroti bagaimana pengetahuan tentang praktek-praktek upacara telah dipelihara di setiap klenteng.

23Locu (炉主) di Tjoe Hwie Kiong dipilih dengan menggunakan sepasang balok pwee (筶) setiap tahun pada saat ulangtahun dari dewi Tian Shang Sheng Mu (天上圣母). Pada masa lalu kalimat-kalimat doa dalam bahasa Hokkian dibacakan sebelum melempar pwee tersebut. Kebetulan anak laki-laki Cheng ingat kalimat-kalimat doa ini, tapi hanya suara dari kata-kata ini secara samar-samar. Namun, belakangan ini begitu mendengar bahwa kalimat-kalimat doa dalam bahasa Mandarin pada saat melempar pwee masih dilakukan di Semarang, seorang anggota dari pengurus klenteng Rembang, Liong Kam Kiat, membandingkan versi itu dengan apa yang dingat oleh anak laki-laki Cheng, yang ternyata sangat tepat. Maka sejak tahun 2009 kalimat-kalimat doa dalam bahasa Hokkian dihidupkan kemballi di Tjoe Hwie Kiong pada saat acara pemilihan Locu. Catatan ini berdasar pada sebuah wawancara dengan Liong Kiam Kiat di rumahya pada tanggal 12 Agustus 2011.

24Pada tahun 1996 ketika kedua klenteng- di Rembang memutuskan untuk merubah status dari vihara (fasilitas keagamaan resmi) ke klenteng (fasilitas budaya Tionghoa), pengorganisasian kembali pengurus yayasan juga dilakukan pada saat yang sama (Tsuda 2011: Bagian 2). Bukan suatu kebetulan bahwa momen ketika pengetahuan tentang upacara-upacara hanya dimiliki oleh seorang individu tua terasa menjadi sebuah masalah, dan momen ketika susunan kepengurusan dan pembagian tugas di dalam yayasan dipertimbangkan kembali, terjadi bersamaan.

25Catatan ini didasari oleh wawancara dengan kepala seksi sembahyangan di kedua klenteng di Rembang pada tanggal 11 Agustus 2011.

26Ini adalah sebuah buku kecil, 26-halaman termasuk iklan-iklan, dan judul aslinya sebagai berikut: Lie Ping Lien 1950. Tentang Sembahyang Tuhan Allah (King Thi Kong), Semarang: Khong Kauw Hwee Semarang. Fakta bahwa buku referensi semacam ini telah beredar dalam jumlah besar sejak awal abad ke-20 membuktikan tidak hanya adanya minat akan pengetahuan yang berhubungan dengan keagamaan dan tradisi, tetapi juga bahwa “kekurangan keyakinan” akan pengetahuan itu adalah sebuah fenomena yang secara historis dapat ditemukan secara luas di seluruh masyarakat etnik Tionghoa.

27Catatan ini berdasar pada sebuah wawancara dengan Liong Kiam Kiat di rumahnya pada tanggal 12 Agustus 2011.

28Dlam kondisi banyaknya etnik Tionghoa yang tidak tertarik pada pengetahuan tentang upacara-upacara, fakta bahwa keberlanjutan upacara-upacara dipertahankan oleh “peneliti-peneliti amatir yang giat” seperti Liong, adalah suatu hal yang tidak bisa diabaikan.

29Harus dicatat bahwa secara luas, detil-detil dari upacara-upacara tidak berbeda secara drastis di antara klenteng-klenteng. Dalam hubungan ini, penggunaan kalimat-kalimat doa dalam bahasa Indonesia di Rembang agaknya mungkin aneh bila dibandingkan dengan “tradisi asli” yang biasanya diharapkan. Namun, saya mendapati suatu kasus yang sungguh sama di Lasem, kota yang berdekatan dengan Rembang. Mungkin saja di beberapa tempat lain pun terjadi respon yang serupadengan di klenteng-klenteng di daerah sekitar Rembang tentang kalimat-kalimat doa, karena faktor-faktor seperti tekanan sosial terhadap “hal-hal berbau Cina”, dan juga seperti kemampuan bahasa (Mandarin maupun Hokkian) yang sangat terbatas di dalam komunitas-komunitas lokal.

30Berbeda dengan Jawa Timur dimana klenteng-klenteng hampir secara seragam bergabung dalam PTITD, beberapa klenteng di Jawa Tengah mencari jalan sendiri-sendiri dengan berafiliasi dengan organisasi keagamaan lain, seperti organisasi-organisasi Buddhis Mahayana dan Theravada (Tsuda 2012b: 391-393).

31Di Indonesia dewasa ini, munurut peraturan, perkawinan akan disahkan resmi jika pasangan diberkati dengan kehadiran seorang rohaniwan dari agamanya, yang kemudian memberikan sebuah sertifikat ke kantor catatan sipil. Proses pengakuan administratif dalam pencacatan sipil inilah yang PTITD Komda Jateng sebagai organisasi keagamaan yang diakui resmi, secara aktif berusaha untuk terlibat di dalamnya.

32Catatan ini didasari pada sebuah wawancara dengan sekretaris PTITD Komda Jateng, yang dilakukan di kantornya pada tanggal 1 Agustus 2011.

33Catatan ini didasari oleh wawancara dengan David Herman Jaya pada tanggal 31 Juli 2011 di kantor bisnisnya di Semarang. Ia dididik di sekolah-sekolah protestan sampai tingkat SMP. Kemudian ketika menjabat sebagai pimpinan pengurus di sebuah klenteng di Magelang, ia secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan PTITD Komda Jateng. Menurut David, ia mencapai penafsiran baru tentang Tri Dharma melalui suatu proses termasuk membaca secara bebas dan perdebatan dengan keluarga dan para rohaniwan.

34Iniatif-inisiatif dari PTITD Komda Jateng belum mencapai suatu titik dimana organisasi ini ikut campur tangan dalam setiap aspek praktek-praktek keagamaan para penganut. Menurut Herman Jaya, focus pada tujuan sekarang dari PTITD Komda Jateng adalah menanamkan ajaran (doktrin) secara berangsur-angsur.

35Kita telah melihat dalam pengertian Kwee Tek Hoay mengenai “Tiga-Ajaran” yang diuraikan dalam Catatan kaki 9, dimana ia melakukan pendekatan untuk menanamkan makna-makna terhadap praktek-praktek adat keagamaan dengan pemikiran filosofis.

36Harap diingat bahwa usaha Majelis Tridharma untuk menafsirkan “keimanan” dibuat dalam rangka untuk memperbaiki pendidikan kaum muda. Lihat catatan kaki 18.

37Kecenderungan ke arah kristianisasi di antara etnik Tionghoa di Indonesia bertumbuh dengan cepat selama masa pertengahan tahun 1960-an dan setelahnya, pertama-tama dengan cara masuk ke agama Katholik dan kemudian ke agama Protestan. Namun seperti telah disebutkan sebelumnya, kekuatiran besar mengenai perubahan ke Kristen di antara etnik Tionghoa telah diutarakan secara terus-menerus mulai awal abad ke-20 dan terutama pada akhir tahun 1930-an ketika pekabar injil etnik Tionghoa dan gereja mulai muncul. Kekuatiran ini sering diutarakan oleh para cendekiawan Peranakan dalam diskursus mereka tentang “bangsa” dan “tradisi” (Rees 1987: 48-61).

38Dilahirkan pada tahun 1930 di Bogor dengan nama Thio Liang Ik. Pada tahun 1977 ketika organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” di Jawa Timur dan Jawa Barat memasuki perundingan bersama, ia mewakili Jawa Barat dan kemudian terus bekerja di dalam Martrisia yang bersatu sebagai ketua Komisariat Daera DKI – Jawa Barat. Ketika Majelis Tridharma dibentuk, ia diangkat sebagai Ketua Dewan Pandita (Satyadharma 2004: 355-358).

39Meskipun PTITD tidak mengingkari hasil-hasil yang telah dicapai Kwee, orang yang diposisikan dan dianggap sebagai “Bapak Tri Dharma Indonesia (印尼教之父) adalah Ong Kie Tjay, pendiri PTITD. Majelis Tridharma di Jawa Barat juga tidak mengabaikan sumbangan-sumbangan Ong; faktanya sampai tingkat tertentu ia dihormati sebagai penyelamat klenteng-klenteng selama masa sulit di bawah rezim Soeharto.

40Lihat Catatan kaki 21.

41Buku ini, yang diedit oleh Tjan K dan Kwa Tong Hay, dibuat dengan melakukan banyak revisi-revisi dari buku yang telah diterbitkan sebelumnya; Bidang Libang PTITD dan Martrisia Jawa Tengah, 2007, Pengetahuan Umum tentang Tri Dharma, Semarang: Benih Bersemi.

42Tidak ada informasi yang dicantumkan di dalam buku mengenai redaktur atau tahun penerbitan, tetapi isi buku ini hampir sama dengan buku yang diterbitkan sebelumnya di Semarang; E. Setiawan dan Kwa Tong Hay eds. 1990, Dewa-Dewi Kelenteng, Semarang; Yayasan Kelenteng Sampookong Gedung Batu.

43Kwa dikenal sebagai alih tradisi-tradisi Tionghoa. Ia sering diwawacarai oleh media dan memainkan peranan sentral dalam kelahiran kedua buku yang disebutkan di atas.

44Namun, sebagaimana disebutkan oleh Watson sendiri, argumentasinya bahwa orang Tionghoa cendurung mementingkan “praktek/ upacara (bentuk)” daripada “ideologi/ kepercayaan (isi)”, hanyalah sebuah hipotesa yang ia sajikan demi maksud diskusi. Juga kita tidak bisa menganggap bahwa status “Agama Tionghoa” di China lebih kurang sama dengan yang ada di Indonesia, yang telah sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan politik setempat.

45Sehubungan dengan jenis pandangan yang sinis ini, sebuah teori yang sering ditemukan yang mengatakan “sifat alami etnik Tionghoa” seperti dinyatakan dalam peribahasa “lebih baik menjadi kepala ayam daripada ekor kerbau”, merupakan alasan organisasi-organisasi ini mencari jalur independen masing-masing (cf. Tsuda 2011: 303, 315-316). Disini saya tidak akan mendiskusikan keabsahan dari argumentasi bersifat esensialisme ini, tetapi patut dicatat bahwa jenis diskusi dimana “sifat alami etnik Tionghoa” ditegaskan ketika mengkritik banjirnya ciptaan-ciptaan organisasi-organisasi keagamaan baru, telah terjadi pada tahun 1920-an Rees 1987: 51).





Referensi
Coppel, Charles A. 1989. “«Is Confucianism a Religion?»: A 1923 Debate in Java.” Archipel 38: 125-35.
Duara, Prasenjit. 2008. “Religion and Citizenship in China and the Diaspora.” In Chinese Religiosities: Afflictions of Modernity and State Formation, edited by Mayfair Mei-hui Yang, 43-64. Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press.
Hasan, Noorhaidi. 2008. “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after Suharto.” Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 1: 23-51.
Ramstedt, Martin. 2004. “Introduction: Negotiating Identities - Indonesian ‘Hindus’ between Local, National, and Global Interests.” In Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests, edited by Martin Ramstedt, 1-34. London & New York: Routledge Curzon.
Rees, Michonne van. 1987. “The Sam Kauw Hwee and Christian Conversion amongst the Peranakan Chinese in Late Colonial Java,” Master diss., the Department of Indian and Indonesian Studies, University of Melbourne.
Rees, Michonne van. 1989. “Kwee Tek Hoay dan Sam Kauw Hwee.” In 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena, edited by Myra Sidharta, 257-273. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Salmon, Claudine and Anthony K.K. Siu eds. 1997. Chinese Epigraphic Materials in Indonesia, Volume 2: Java, (under the direction of Wolfgang Franke). Singapore: South Seas Society, Paris: EFEO, Archipel.
Satyadharma, M.P. Sasanaputera. 2004. Permata Tridharma. Jakarta: Yasodhara Puteri.
Tsuda Koji. 2011. Kajinsei no Minzoku-shi: Taisei-tenkanki Indonesia no Chiho-toshi no Field kara. Kyoto: Sekaishisosha. [津田浩司. 2011. 『「華人性」の民族誌―体制転換期インドネシアの地方都市のフィールドから』, 世界思想社].
Tsuda Koji. 2012a. “Chinese Indonesians who Study Mandarin: A Quest for ‘Chineseness’?” In Words in Motion: Language and Discourse in Post-New Order Indonesia,edited by Keith Foulcher, Mikihiro Moriyama and Manneke Budiman, 191-211. Singapore: NUS Press.
Tsuda Koji. 2012b. “The Legal and Cultural Status of Chinese Temples in Contemporary Java.” Asian Ethnicity 13(4): 389-398.
Watson, James L. 1988. “The Structure of Chinese Funerary Rites: Elementary Forms, Ritual Sequence, and the Primacy of Performance.” In Death Ritual in Late Imperial and Modern China, edited by James L. Watson and Evelyn S. Rawski, 3-19. Berkeley: University of California Press.
Yang, Mayfair Mei-hui. 2008. “Introduction.” In Chinese Religiosities: Afflictions of Modernity and State Formation, edited by Mayfair Mei-hui Yang, 1-40. Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press.

Sumber Primer
Martrisia Komda Jateng (Majelis Rohaniwan Tri Dharma Seluruh Indonesia Komisariat Daerah Propinsi Jawa Tengah). 2007. Penataran Dharma Duta Tri Dharma, 23-24 Juni 2007.
Oei Bie Ing. n.d. Kelenteng Timur Kuno. Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma se-Indonesia.
Panitia Munas dan Kongres. 2006. Buku Materi Musyawarah Nasional PTITD se-Indonesia dan Kongres MARTRISIA, 28-30 November 2006, Surabaya.
Panitia Peringatan Hari Tridharma. 2009. Peringatan Hari Tridharma Kwee Tek Hoay 1886-20092 Agustus 2009, Bekasi. Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia.
Yayasan Dwi Kumala Rembang. n.d. Daftar Sesaji Sembahyangan untuk Klenteng “Tjoe Hwie Kiong” dan Klenteng “Hok Tik Bio.