I. Pengantar
Pada bulan Mei 1998 ketika rezim Orde Baru di Indonesia jatuh setelah lebih dari 30 tahun di bawah Presiden Soeharto, dimulai tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan opresif yang menargetkan penduduk Tionghoa (mulai saat ini disebut sebagai “etnik Tionghoa). Dalam prosesnya, hukum-hukum yang melarang pengungkapan kebudayaan yang berasal dari China secara publik dihapuskan. Pasang surutnya perubahan-perubahan utama politik mempengaruhi etnik Tionghoa termasuk kepercayaan mereka. Tahun Baru Tionghoa menjadi hari libur nasional dan Konfusianisme mendapatkan kembali statusnya sebagai agama ke-enam yang diakui oleh negara. Perubahan-perubahan ini membawa peningkatan yang nyata dalam “Agama Tionghoa”1.
Selama masa Soeharto, klenteng-klenteng Tionghoa telah dilarang, meliputi pengadaan aktivitas-aktivitas secara publik dengan alasan bahwa klenteng termasuk dalam kategori “tata budaya asing” yang tidak sesuai dengan “kepribadian Indonesia”2 (Tsuda 2012b: 389-390). Namun, sekarang beberapa klenteng Tionghoa bahkan mengadakan kelas-kelas bahasa Mandarin di tempatnya. Ini adalah bagian dari tranformasi yang lebih luas yang telah menjadi nyata dalam komunitas-komunitas lokal di banyak bagian negeri ini, dengan perubahan ke arah penempatan kembali fungsi klenteng-klenteng Tionghoa yang telah dirusak selama masa Soeharto, sebagai pusat kegiatan untuk masing-masing komunitas etnik Tionghoa (Tsuda 2012b: 396-397).
Fungsi lain yang disediakan oleh klenteng-klenteng Tionghoa, mungkin secara tradisional lebih penting, adalah sebagai tempat pemujaan. Di klenteng orang-orang mengangkat dupa, menangkupkan telapak tangan saat berdoa, dan membakar kertas untuk menyembah dewa-dewa yang terkenal dalam kepercayaan Tionghoa. Sekilas pemandangan “biasa” ini membangkitkan sensasi “tradisi”, dari praktek-praktek upacara yang diturunkan dari generasi ke generasi di antara orang-orang Tionghoa, melebihi batasan-batasan waktu dan geografi. Namun, bidang ini, meskipun secara umum dimengerti sebagai “kepercayaan etnik Tionghoa”, sama sekali tidak mempertahankan keberadaannya secara “tradisional”. Sebaliknya, demi mengadaptasi ke kondisi sosial dan politik, “tradisi” ini telah melewati perubahan-perubahan berarti. Perubahan yang paling nyata terjadi pada pergantian abad ke 20 di bawah struktur kolonial Hindia Belanda Timur, ketika para cendekiawan Peranakan Tionghoa mencari dan secara sangat sadar mendukung konsep “Agama Tionghoa” yang jelas sebagai tonggak spiritual untuk memodernisasi “orang-orang Tionghoa”3.
Perubahan lain yang berarti dikembangkan ketika negara berbangsa tunggal yang baru waktu itu mempromosikan konsep “agama” yang mengikuti Islam dan Kristiani yang monotheis. Perubahan ini dipercepat oleh faktor-faktor yang sama yang dialami oleh golongan-golongan beragama lain seperti Hindu Bali, yang melalui suatu proses usaha besar yang berlangsung selama lebih dari 5 dekade, bekerja untuk menysuaikan iman mereka dengan model “agama” dari negara. Agar diakui sebagai “agama” secara resmi, adanya Tuhan yang monotheis, nabi, kitab suci, dan tempat pemujaan adalah syarat-syarat penting (Ramstedt 2004). Perubahan-perubahan ini dipercepat pada masa rezim Soeharto, dimana Pancasila sebagai filosofi negara dianggap mutlak sebagai suatu ideologi untuk melawan komunisme. Terlebih lagi rezim Soeharto menambah rangkaian kebijakan-kebijakan untuk membuat “hal-hal yang berbau Cina” (segala sesuatu yang berhubungan dengan China atau etnik Tionghoa) tidak kelihatan di tempat-tempat umum demi kepentingan keamanan. Proses penghilangan ini diintensifkan ketika rezim ini kemudian mencoba memobilisasi kekuatan ekonomi etnik Tionghoa, sambil dengan hati-hati menghindari rasa iri dari orang-orang pribumi (Tsuda 2011: 11-14; 2012b). Tindakan opresif yang sangat berat ini berakhir pada pergantian abad ke-21, ketika “hal-hal berbau Cina” mulai berangsur-angsur diterima tidak hanya secara politik tapi juga secara sosial. Selain itu, negara telah berangsur-angsur tidak mau memperlakukan “agama” di bawah kontrol pusat4.
Dengan perubahan-perubahan ini orang-orang saat ini lebih leluasa menyatakan pendapat yang berhubungan dengan kesukuan atau agama di muka publik. Mengikuti fenomena ini, dipelopori oleh organisasi-organisasi keagamaan dalam bidang “Agama Tionghoa” yang tadinya hanya memayungi dan melindungi Klenteng-klenteng, memunculkan gerakan-gerakan yang tiba-tiba ditujukan untuk menyusun doktrin-doktrin dan menstandardisasi upacara-upacara. Dalam artikel-artikel sebelumnya saya telah menggambarkan situasi di klenteng-klenteng Tionghoa di seluruh Jawa saat ini, begitu juga beberapa masalah yang dihadapi oleh klenteng-klenteng individu dalam konteks lokal (Tsuda 2012b). Dalam artikel ini saya akan fokus pada organisasi-organisasi keagamaan5 dan memberikan suatu gambaran konkret untuk sistemasisasi “Agama Tionghoa” yang saat ini berkembang – dalam usaha-usaha mereka mengembangkan “penafsiran doktrin yang benar” (orthodoxy) dan “praktek upacara yang benar” (orthopraxy) – dalam hubungan dengan perubahan-perubahan sosial politik tersebut di atas.
II. Sejarah “Agama Tionghoa”
1. Awal abad ke 20 – Kwee Tek Hoay dan Sam Kauw Hwee
Mayoritas klenteng-klenteng Tionghoa di Jawa tampaknya dibangun atau direnovasi pada pergantian abad ke19 (Salmon & Siu 1997). Secara umum klenteng-klenteng ini dipertahankan dan diurus oleh masing-masing komunitas lokal etnik Tionghoa, dengan kata lain, klenteng-klenteng tidak dihubungkan pada organisasi-organisasi keagamaan yang terpusat6. Namun, selama awal abad ke-20, suatu gerakan muncul untuk mencari suatu agama yang bisa berlaku sebagai tonggak spiritual untuk etnik Tionghoa – “Agama Tionghoa”.
Dari akhir abad ke19 sampai tahun 1920-an, beberapa golongan – mula-mula dengan maksud untuk memodernisasi masyarakat etnik Tionghoa, dan kemudian sebagai serangan balasan terhadap gelombang-gelombang modernisasi dan westernisasi – menggunakan ajaran-ajaran Konfusius sebagai tonggak spiritual untuk masing-masing gagasan (Coppel 1989). Untuk menghadapi hal ini, Kwee Tek Hoay (郭德怀, 1886-1951) yang dikenal sebagai penulis produktif dalam sastra Peranakan, sangat kritis terhadap mereka yang mempromosikan modernisasi atau menggunakan ajaran-ajaran Konfusius sebagai kedudukan yang eksklusif, secara umum menolak penyembahan leluhur dan dewa-dewa sebagai hal yang kuno. Ia juga kuatir bahwa mereka telah gagal mendapatkan dukungan di antara masyarakat Tionghoa, malahan gagal menjadi tonggak spiritual yang efektif untuk melawan gelombang Kristenisasi masyarakat Tionghoa. Dalam tahun 1934 ia mendirikan suatu organisasi baru yang dikenal sebagai Sam Kauw Hwee (三教会), secara harfiah berarti “Perkumpulan Tiga-Ajaran” (Rees 1987: 48, 53-54). Sam Kauw (dalam bahasa Indonesia, Tridharma)7 adalah istilah yang mengkonsepkan ketiga ajaran terdiri dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, yang ditanamkan secara mendalam di antara masyarakat Tionghoa, yang berbaur secara baik dan tak terpisahkan. Tentu saja, konsep “Tiga-Ajaran” atau konsep-konsep yang serupa telah mempunyai suatu eksistensi dalam filosofi Tionghoa selama berabad-abad. Tetapi Kwee sendiri, yang dapat dikatakan hampir tidak mempunyai kemampuan membaca huruf Tionghoa, secara jelas telah diperkenalkan kepada pemikiran tradisi Tionghoa melalui orang-orang Barat atau literatur Barat8, dan telah menemukan konsep “Tridharma” dalam usaha mencoba untuk menangkap kembali “Agama Tionghoa” sebagai konsep yang lebih inklusif.
Segera setelah pendirian Sam Kauw Hwee, cabang-cabang telah didirikan di seluruh Jawa dan di kota-kota besar di pulau-pulau lain. Sam Kauw Hwee mengikuti golongan-golongan sebelumnya yang mencari “Agama Tionghoa”, namun ia digagas sebagai organisasi yang lebih terbuka kepada masyarakat9. Dengan mengakuigelombang Kristenisasi masyarakat Tionghoa sebagai ancaman10, pada akhir tahun 1930 Kwee sendiri telah melihat Tridharma sebagai sebuah sistem religious (Rees 1987: 67-78. Klenteng-klenteng Tionghoa dianggap sama dengan gereja-gereja. Karena itu aktivitas-aktivitas selanjutnya ditujukan untuk mengubah peran klenteng dari hanya tempat untuk pemujaan adat menjadi tempat untuk berkhotbah yang akan memperdalam pengertian “filosofi” dari “Agama Tionghoa” yang baru dipusatkan, yaitu ajaran-ajaran Shakyamuni, Konfusius dan Lao-tze.
Dikarenakan, di antara lain, kekacauan yang terjadi selama masa kemerdekaan, Sam Kauw Hwee mengalami suatu kemacetan sementara dalam aktivitasnya. Dalam tahun 1952, enam bulan setelah kematian Kwee, cabang-cabangnya digabungkan untuk membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI). Dalam tahun 1963 nama resminya diubah menjadi Gabungan Tridharma Indonesia (GTI). Dengan berkantor pusat di Jakarta, mereka telah memperluas basisnya, terutama di Jawa Barat (Tsuda 2012b: 392-393).
2. Masa Soeharto: PTITD
Pada tahun 1967 dalam proses untuk mengatasi kerusuhan yang disebabkan oleh Gerakan 30 September, Soeharto teah merampas kekuasaan. Ditempatkan persis pada persilangan antara kebijakan-kebijakan mengenai “kepercayaan” dan “hal-hal berbau Cina”, klenteng-klenteng Tionghoa secara umum menghadapi situasi yang sulit selama rezim ini, yang akhirnya runtuh pada tahun 1998. Untuk melindungi keberadaan klenteng-klenteng, suatu golongan baru yang mengangkat konsep “Tiga-Ajaran” muncul di Jawa Timur. Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma se-Indonesia, disingkat PTITD, didirikan di Surabaya pada tahun 196711, diketuai oleh Ong Kie Tjay (王基财). PTITD mengikuti karakteristik dasar GTI dari Jawa Barat, menjunjung tinggi elemen-elemen ketiga ajaran sementara mempromosikan identitasnya sebagai salah satu sekte Buddhisme, sebuah “agama” yang diakui secara resmi. PTITD mempunyai karakteristik yang menonjol sebagai organisasi payung yang bersifat protektif; ia mendeklarasikan klenteng-klenteng sebagai fasilitas-fasilitas “agama” yang sah, sementara menyatukan mereka di bawah kepemimpinannya.
Dalam tahun 1979 ketika rezim Soeharto memasuki periode stabilitas dan kontrol negara terhadap klenteng-klenteng menjadi lebih intensif, organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” di Jawa Timur dan Jawa Barat digabungkan untuk membentuk sebuah organisasi terpadu bernama Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia). Organisasi ini berfungsi sebagai wadah tunggal, mewakili kepentingan-kepentingan klenteng-klenteng di seluruh Indonesia. Tentu saja, penggabungan ini sesuai dengan gejala pada akhir tahun 1970, ketika di bawah kepemimpinan rezim Soeharto suatu persyaratan dituntut di semua organisasi Buddhis di Indonesia untuk mengorganisirnya di bawah kerangka yang menyatukan12. Pada saat yang sama, penggabungan ini juga merupakan hasil dari usaha-usaha untuk mencari jalan bagi klenteng-klenteng untuk mempertahankan keberadaannya.
Martrisia, yang berkantor pusat di Surabaya dan di dijalankan oleh beberapa anggota dewan pengurus, terutama dari Surabaya13, memfokuskan aktivitas-aktivitasnya untuk membujuk agen-agen pemerintah dan masyarakat Indonesia agar mengakui “Tri Dharma” sebagai agama yang diakui secara resmi, dan bahwa klenteng-klenteng atau “tempat ibadat Tri Dharma” adalah fasilitas keagamaannya. Akibatnya, PTITD jarang sekali mengorganisir aktivitas-aktivitas yang lazim diasosiasikan dengan organisasi keagamaan, seperti penetapan doktrin, standardisasi upacara-upacara, atau aktivitas-aktivitas untuk menyatukan klenteng-klenteng di bawah naungannya14. Situasi ini membuat frustasi anggota-anggota di Jawa Barat yang mempunyai sejarah kegiatan secara sistematis dengan harapan untuk mendirikian suatu “Agama Tionghoa”. Frustasi ini akhirnya mengakibatkan pemisahan secara serentak dari semua cabang di Jakarta dan Provinsi Jawa Barat dari Martrisia pada tahun 1997. Pada tahun 1999 cabang-cabang ini bersatu lagi sebagai Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia, yang setelah ini disebut sebagai “Majelis Tridharma, berkantor pusat di Jakarta (Satyadharma 2004: 9-15).
Dengan demikian dua organisasi “Tiga-Ajaran” hidup berdampingan, satu mewakili Jawa Timur dan yang lain mewakili Jawa Barat. Setelah tekanan kebijakan dari negara yang menargetkan “hal-hal berbau Cina” dan “agama” melonggar, dipimpin oleh beberapa pemimpin dari organisasi-organisasi ini, gerakan-gerakan telah berkembang untuk menetapkan doktrin dan standardisasi upacara-upacara. Dalam bab berikut, saya akan menyajikan secara detil gambaran dari gerakan-gerakan tersebut ke arah sistematisasi keagamaan, dengan menfokuskan pada masing-masing organisasi.
III. Penetapan Doktrin, Standardisasi Upacara-upacara
1. Menyusuri Jejak Langkah Kwee Tek Hoay: Majelis Tridharma
Majelis Tridharma, yang dibentuk hampir bersamaan dengan runtuhnya rezim Soeharto, adalah keturunan langsung dari Sam Kauw Hwee15 dibentuk oleh Kwee Tek Hoay. Seorang pemimpin dari organisasi ini menerangkan bahwa Majelis Tridharma melepaskan diri dari Martrisia karena ketiadaan “keimanan”. Dengan kata lain, mereka tidak puas karena usaha-usaha organisasi untuk mendirikan tonggak spiritual telah diabaikan16. Bagaimana, kemudian, organisasi ini sekarang mencoba untuk memperdirikan “keimanan”?
Artikel penting berjudul “Tridharma sebagai Satu Kesatuan” dipublikasikan dalam sebuah brosur untuk “Hari Tridharma” pada tahun 200917. Pengarangnya, Budiyono Tantrayoga, Pandita Utama dari Majelis Tridharma sampai 2010, memulai artikel ini dengan menyatakan adanya krisis di tengah-tengah arus perkembangan Tridharma dewasa ini. Ia menyatakan bahwa dalam masa “modernisasi” dan “komputerisasi”, hal-hal prinsip yang seharusnya dijaga keutuhannya semakin surut, dan bahwa orang-orang dialihkan kepada pemikiran untuk lebih bangga menjadi seorang Buddhis ketimbang menjadi Tridharmais. Menurut Budiyono, Buddhisme hanyalah sebuah bagian dari Tridharma. Namun, orang-orang sekarang cenderung untuk menjadi penganut-penganut Buddhisme, bukan penganut-penganut Tridharma. Ia menuntut bahwa “ke-Tridharma-an” – suatu keadaan dimana ketiga ajaran bersama-sama melengkapi satu sama lain dan membentuk Satu Hakekat – harus dibentuk, dihayati, dan dijalani sebagai hakekat kehidupan. Dalam bagian belakang dari artikel ini, ia menerangkan bahwa unsur-unsur penting dalam ketiga ajaran masing-masing yang mengajarkan proses pencapaian tujuan maupun hakekat penghayatan, sesunguhnya memiliki banyak ragam kesamaan filosopis. Ia menyajikan tabel di bawah ini untuk menunjukkan korelasi di antara ketiga ajaran.
Padanan Yang Lima
Taoisme
|
Konfusianisme
|
Buddhisme
|
Five Phrases
(PancaBhuta/Lima Elemen/Ngo Heng)
|
Five Virtues
(PancaUtama/Lima Utama/Ngo Siang
|
Five Precepts
(PancaSila/Lima Sila/Ngo Kai)
|
Wood
(Mu/Bok/Kayu)
|
Benevolence
(Ren/Jin/Cinta Kasih)
|
No killing
(Tidak Membunuh)
|
Metal
(Cin/Kim/Logam)
|
Righteousness
(I/Yi/Kebenaran)
|
No stealing
(Tidak Mencuri)
|
Fire
(Huo/Hwe/Api)
|
Propriety
(Li/Lee/Susila)
|
No sexual misconduct
(Tidak Berjinah)
|
Water
(Sui/Cui/Air)
|
Wisdom
(Che/Ti/Kebijaksanaan)
|
No intoxicants
(Tidak memabukkan)
|
Earth
(Tu/To/Tanah)
|
Fidelity
(Xin/Sin/Dapat dipercaya)
|
No false speech
(Tidak Berdusta)
|
Budiyono menghubungkan komponen-komponen dalam setiap dari ketiga ajaran dengan padanan setara dengan tanda sama (‘=’). Misalnya, hubungan antara komponen-komponen dari baris ketiga dari tabel ditunjukkan sebagai “Orang yang gemar melakukan perjinahan adalah orang yang tidak susila. Yang tidak susila = orang yang kurang beretika – berarti kekurangan Api”. Ia membuktikan bahwa “Keterkaitan dari masing-masing unsur iniah yang merupakan Padanan Lima Tridharma yang ternyata mencerminkan Satu Hakekat. Dengan mengatakan demikian, ia menyimpulkan tidak dianjurkan bahwa seseorang hanya bersandar pada pengertian tentang Buddhisme, tetapi sebaiknya seseorang Tridharmais seharusnya melaksanakan ilmu kebatinan dari Taoisme, tata susila dari Konfusianisme dan disiplin dari Buddhisme dalam kehidupan sehari-hari.
Bukanlah tujuan saya di sini untuk memperdebatkan keabsahan keagamaan dari doktrin Sam Kauw It Lee (三教一理). Namun, yang layak diperhatikan adalah usaha luar biasa yang dilakukan oleh pihak pemimpin dari organisasi ini untuk mendirikan “Ketiga-Ajaran” sebagai “agama” tunggal yang menyatu tanpa bersandar secara tidak seimbang pada ajaran Buddhis. Fakta bahwa artikel ini dipersiapkan sebagai sebuah artikel pengajaran untuk mengajar pemuda tentang esensi Tridharma mungkin juga penting18. Meskipun pengetahuan keagamaan yang berkenaan dengan Tridharma, munurut kebiasaan sejauh ini, diperoleh baik dengan belajar sendiri atau diturunkan melalui hubungan mentor yang tidak resmi, Majelis Tridharma saat ini mendirikan institut untuk kependetaan di Cipinang. Sekarang institusionalisasi dari metode untuk mengalihkan pengetahuan keagamaan, maupun sistemasisasi dari pengetahuan itu sendiri, sedang dalam proses, dan hal itu menunjukkan tanda yang jelas bahwa mereka yang dilatih secara resmi akan melaksanakan upacara-upacara dan berkhotbah mengenai Tridharma dalam klenteng-klenteng di seluruh Jawa Barat (Panitian Munas dan Kongres 2006)19.
2. Sebagai Lembaga Keagamaan yang Layak: PTITD Pusat
Menghadapi pemisahan dan gerakan yang giat dari para anggota di Jawa Barat (Majelis Tridharma) yang bermaksud untuk mendirikan “ke-Tridharma-an”, apa respons yang dilakukan oleh organisasi yang berbasis di Jawa Timur (PTITD-Martrisia), mulai sekarang disebut PTITD Pusat), yang sebelumnya tidak melakukan banyak aktivitas keagamaan? PTITD Pusat, yang di masa Soeharto menduduki posisi sebagai “wadah tunggal” yang mewakili klenteng-klenteng, rupanya masih harus mencari cara untuk keluar dari keadaan stagnan.
Tentu saja, usaha-usaha telah dilakukan. Dalam bulan Nopember 2006 PTITD Pusat mengadakan musyawarah dan kongres nasional di Surabaya. Selama tiga hari kongres, penunjukan dewan pengurus telah diperbaharui untuk pertama kali sejak tahun 1988, dan target lima-tahun untuk program aktivitas (periode tahun 2006-2011) disajikan dengan tujuan untuk menciptakan satu gambaran organisasi yang cocok sebagai lembaga keagamaan yang “layak”20 (Panitia Munas dan Kongres 2006). Rancangan lima-tahun ini diatur dalam kategori-kategori utama termasuk (1) bidang organisasi dan keanggotaan, (2) bidang agama/ dharm/ kependetaan rohaniwan dan sarana keagamaan serta seni agama, (3) bidang ekonomi/ kesejahteraan umat/ pendidikan, dan (4) bidang hubungan luar negeri21. Kategori kedua secara jelas menggambarkan tujuan untuk sistemasisasi keagamaan. Sebenarnya separuh dari buku kecil berukuran A4 ini, yang dibagikan kepada para peserta di kongres, disajikan untuk instruksi manual sebanyak 40-halaman mengenai tatacara upacara Tri Dharma. Manual upacara (仪式唱礼) meliputi empat kategori, yaitu “Upacara sembahyang Tridharma terhadap Sin Bing”, “Upacara pelantikan pengurus Tridharma”, “Upacara perkawinan yang diselenggarakan di tempat ibadat Tridharma atau di aula” dan “Upacara sembahyang perkabungan secara Tridharma”. Kata-kata yang dibacakan – semuanya dalam bahasa Mandarin – oleh “Petugas Upacara (执事)” dan “Pimpinan Upacara (主祭官)” maupun tatacara yang akan dilakukan selama setiap upacara dicantumkan secara rinci. Tatacara ini meliputi “tigakali berlutut dan sembilan kali kowtow, begitu juga penyajian dupa dan teh dilakukan dalam urutan secara kronologis, dengan keterangan dalam bahasa Mandarin, dan di sampingnya ada pingyin, tullisan fonetik untuk membantu pembaca Indonesia, dan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Halaman-halaman terakhir dari masing-masing manual upacara ini dilengkapi gambaran layout dari barang-barang yang harus disajikan di altar utama untuk setiap upacara. Namun isi manual upacara ini belum tentu dilakukan secara seragam di setiap klenteng yang bergabung dengan PTITD. Sebaiknya setiap klenteng mempunyai tatacara spesifik untuk melaksanakan upacara yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya. Untuk menggambarkan hal ini saya akan memperkenalkan secara singkat tentang kasus klenteng di kota Rembang, Jawa Tengah, dimana saya telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun22.
Di kota Rembang ada dua klenteng, yaitu Tjoe Hwie Kiong(慈惠宫) dan Hok Tik Bio (福德庙). Keduanya diurus di bawah satu yayasan sejak tahun 1978 (Tsuda 2011: Bagian 2). Dalam tahun 1970-an upacara-upacara di kedua klenteng ini hanya diurus oleh seorang bernama Cheng Shu Hong, yang membaca kalimat-kalimat doa (Surat Doa/ Cee Boen) dalam bahasa Hokkian ketika upacara-upacara sedang berlangsung. Ketika Cheng meninggal tahun 1980-an, kalimat-kalimat doa tidak dapat lagi dibacakan, karena tidak ada seorang pun yang mengerti arti kata-kata kalimat doa tersebut. Tan Ging Hwat, yang waktu itu bertugas sebagai sekretaris yayasan, dengan imaginasi bebas menciptakan kalimat-kalimat doa yang baru dalam bahasa Indonesia untuk menggantikan kalimat-kalimat doa dalam bahasa Hokkian. Sejak itu, selama upacara-upacara di kedua klenteng, kalimat-kalimat doa dalam bahasa Indonesia dipasang di altar dan dibacakan. “Tradisi” ini berlangsung sampai sekarang23. Cheng dan istrinya juga bertugas menyiapkan semua sesaji makanan yang diletakkan di altar. Setelah dia meninggal, Hian Khing, asistennya, mengambil alih tugasnya. Namun, ketika Hian Khing menjadi tua, muncul kekuatiran bahwa semua pengetahuan mengenai persembahan akan hilang24. Karena itu, sekitar tahun 2000, Liong Kiam Kiat yang waktu itu baru saja mulai bertugas sebagai Locu(炉主)di Tjoe Hwie Kiong, mencatat jenis dan pengaturan posisi dari sesaji seperti yang diajarkan oleh Hian Khing. Kemudian Liong Kiam Hwat menyusun “Daftar Sesaji Sembahyangan untuk Klenteng ‘Tjoe Hwie Kiong’ dan ‘Hok Tik Bio’” (Yayasan Dwi Kumala Rembang n.d.). Saat ini, orang yang mengatur sesaji adalah petugas yayasan yang mengatur upacara-upacara (seksi sembahyangan). Ini bukanlah warisan atau kedudukan seumur hidup, petugas bisa berganti seiring dengan pergantian kepengurusan. Pengaturan altar telah dilaksanakan sesuai dengan “Daftar Sesaji Sembahyangan” sebagai panduan sejak tahun 200125.
Namun, “tradisi-tradisi” seperti ini yang telah diturunkan dalam komunitas secara alamiah sama sekali tidaklah bersifat statis. “Kurangnya keyakinan” masyarakat terhadap pengetahuan upacara-upacara itu sendiri seringkali mengakibatkan secara tidak langsung perubahan-perubahan. Misalnya, tentang sesaji untuk upacara tahunan yang diadakan pada hari ke-9 Imlek (敬天公, King Thi Kong), masyarakat Tionghoa di Rembang telah mempunyai suatu “tradisi”. Namun, pada suatu hari di tahun 2001, Liong, orang yang telah menyusun “Daftar Sesaji Sembahyangan” menemukan sebuah buku kecil tua berjudul “King Thi Kong”26 milik kerabatnya di kota. Dalam buku kecil ini, satu macam kue bernama “bie-koo/ gunungan wajik”) digambarkan sebagai sesaji yang diwajibkan untuk upacara ini, tapi sejauh ini tidak dimasukkan dalam “tradisi” Rembang. Sejak saat itu, gunungan wajik ditambahkan pada altar di kedua klenteng, untuk memenuhi pedoman yang “lebih tua dan benar”27. Dari contoh ini kita bisa mengetahui bahwa “tradisi-tradisi” telah diturunkan dalam klenteng masing-masing dan komuniats sekitarnya. Namun, karena kekurangan akan basis pengetahuan yang kuat di mana masyarakat dapat percaya ketika mencari informasi mengenai upacara dan semacamnya, “tradisi” itu sendiri tergantung pada pengaruh-pengaruh. Pengaruh ini meliputi berbagai penafsiran, sumber literatur yang kelihatannya otentik, dan “orang-orang yang pandai” (bahkan termasuk mereka yang dianggap “paranormal”), sehingga pengetahuan tentang upacara-upacara28telah berubah-ubah secara terus-menerus.
Dalam hal kasus di Rembang, dimana usaha-usaha telah dilakukan untuk menurunkan prosedur-prosedur upacara dalam komunitas Tionghoa di sekitar klenteng, sangat sedikit kemungkinan untuk mengikuti secara cepat standardisasi prosedur dan metode upacara yang diperkenalkan oleh PTITD Pusat atau organisasi lainnya. Namun pada saat yang sama, banyak klenteng saat ini menghadapi situasi dimana tidak ada seorang pun yang mempunyai pengetahuan konkrit mengenai prosedur upacara, atau orang yang bertanggung jawab untuk upacara telah mencapai usia tua. Dengan demikian, masyarakat mempunyai rasa ketidakpastian tentang keberlangsungkan praktek upacara di klenteng mereka. Dalam hal Rembang, pengetahuan tentang upacara telah berhasil diturunkan di dalam komunitas dengan diciptakannya kalimat-kalimat doa yang baru dalam bahasa Indonesia dan disusunnya “Daftar Sesaji Sembahyangan”, tetapi kasus seperti di Rembang adalah hal yang tidak umum terjadi29. Saya menghipotesa bahwa ada sejumlah besar klenteng dimana mereka menginginkan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam hal bagaimana melakukan praktek-praktek upacara. Bila memang demikian, waktunya akan tiba ketika manual instruksi upacara yang disediakan oleh organisasi payung seperti PTITD Pusat akan mempunyai pengaruh yang kuat.
3. Penafsiran Baru tentang “Tri Dharma”: PTITD Komisaris Daerah Jawa Tengah
Berhubung PTITD Pusat di Surabaya tidak mampu sepenuhnya melakukan kepimpinan secara organisasi, PTITD Komisaris Daerah Jawa Tengah, yang setelah ini disebut sebagai “PTITD Komda Jateng, telah mulai berjalan sendiri.
Jawa Tengah adalah wilayah dengan banyak klenteng-klenteng, dan sebagian besar dari mereka bergabung dengan PTITD Komda Jateng30. Selama masa Soeharto tidak banyak aktivitas di PTITD Komda Jateng, yang tetap menjadi bawahan dari PTITD Pusat di Surabaya, dan melakukan tugas utamanya dalam memberikan payung hukum di daerah administratif Jawa Tengah. Namun, setelah memasuki masa pasca Soeharto, aktivitas mereka telah hidup kembali sejak David Herman Jaya (Liem Wan King, 1952), yang menjalankan bisnis penjualan mobil di Magelang, mengambil peranan sebagai ketua cabang. Sebuah catatan penting adalah pemberian sertifikat kepada 73 orang Pandita Tri Dharma baru yang dilakukan oleh PTITD Komda Jateng pada bulan Juni 2007. Acara ini dilakukan untuk menjawab “banyaknya permintaan umat untuk pelayanan Upacara Perkawinan, Upacara Perkabungan, khotbah-khotbah, crtmah-cermah seminar-seminar (Martrisia Komda Jateng 2007: 1). Sebuah buku pedoman yang disusun khusus untuk acara ini meliputi antara lain: peraturan yang harus ditaati oleh Pandita (ketuntuan-ketuntuan umum), manual untuk perkawinan dan contoh-contoh khotbah yang diberikan selama upacara perkawinan, formulir sertifikat pernikahan 31, dan hal-hal yang harus dipahami mengenai kelahiran dan perkabungan. Sebelum upacara pemberian sertifikat, sebuah pelatihan berdasar pada buku pedoman telah dilakukan juga32.
Kemudian dalam tahun 2009 diadakan konferensi untuk mengumpulkan Pandita-pandita yang baru diangkat oleh PTITD Komda Jateng. Di konferensi itu diakui bahwa klenteng-klenteng yang tersebar di Jawa Tengah masing-masing mempunyai cara sendiri dalam melakukan upacara dan doa kepada dewa-dewa, maka standardisasi menjadi sulit dilaksanakan. Meskipun demikian David Herman Jaya mengusulkan bahwa sedikitnya mencapai kesepakatan bersama bahwa doa ditujukan pada hanya satu Tuhan, “Tian” (天). Sebetulnya konsep “Tian” sebagai Tuhan adalah bukan suatu konsep baru. Terutama selama masa Soeharto, hal ini telah ditekankan sepenuhnya di dalam klenteng-klenteng, sesuai dengan prinsip pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Tsuda 2011: 80-81). Yang menariknya adalah usulan lain yang diajukan oleh Herman Jaya selama konferensi, agar mengubah penafsiran Tri Dharma, yang tadinya secara jelas berarti ketiga ajaran dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taosime, menjadi Jiwaku, Hatiku, Dharmaku. Dengan Konfusianisme secara resmi kembali diakui pemerintah sekitar tahun 2006, aktivitas dari berbagai sekte Taoisme secara tiba-tiba dihidupkan, sementara berbagai organisasi Buddhis telah lama berjalan dengan baik dan kokoh. Dalam situasi demikian, kebutuhan mendesak muncul untuk menetapkan sebuah “ke-Tri Dharma-an” baru untuk menghindari gambaran “Tri Dharma” sebagai gado-gado dari ketiga “agama” ini. Usul ini yang dikatakan sebagai usul yang berasal dari Herman Jaya, diterima oleh para Pandita Tri Dharma. Sekarang definisi baru dari Tri Dharma ini mulai secara resmi diakui oleh PTITD Komda Jateng33.
Seperti yang kita lihat, meskipun PTITD Komda Jateng adalah bawahan dari PTITD Pusat di Surabaya, dengan adanya kepemimpinan yang kuat, ia tidak puas lagi berfungsi sebagai organisasi paying dari klenteng-klenteng. Nampaknya, cabang organisasi ini ber usaha secara intensif untuk mendirikan sebuah orde “keagamaan” dengan membuntuk fondasi baru34.
4. Latar Belakang Sistemasisasi “Agama Tionghoa”
Setelah keruntuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, organisasi-organisasi yang bertugas untuk melindungi klenteng-klenteng telah kehilangan raison d’etre. Mereka kemudian menghadapi kenyataan bahwa mereka kekurangan formalitas yang layak sebagai orde keagamaan. Di satu sisi berbagai organisasi seperti Konfusianis dan Taois yang sebelumnya tidak bisa melakukan aktivitasnya secara terbuka, sekarang mulai berusaha untuk membuat keberadaan mereka diketahui. Dalam hal Konfusianisme, doktrin dan upacara mereka telah dilengkapi dengan formalitas yang rapi sepanjang sejarah sejak awal abad ke-20. Begitu juga Taoisme, beberapa dari mereka mulai memegang contoh-contoh yang kuat sebagai referensi mereka masing-masing, dengan membuka hubungannya secara independen dengan organiassi-organisasi di daratan China atau Singapura (Tsuda 2012b: 395-396). Dalam situasi ini, meskipun telah diakui sebagai organisasi keagamaan selama bertahun-tahun dan klenteng-klenteng di seluruh negeri secara nominal ada di bawah naungan mereka, kedua organisasi yang mengakui “Tiga-Ajaran” juga menghadapi kenyataan bahwa “keimanan” mereka dipertanyakan.
Majelis Tridharma di Jawa Barat, yang berbangga bahwa sampai taraf tertentu berhasil menentukan “keimanan” sebagai “Agama Tionghoa”, dengan cepat sadar akan situasi kritis ini, dan telah memilih untuk mengikuti jalur yang dirintis oleh Kwee Tek Hoay.
PTITD Pusat di Jawa Timur, yang menghadapi kenyataan ditinggalkan anggota-anggotanya di Jawa Barat dan agak terlambat untuk mulai mencari cara merespons situasi ini, telah terinspirasi dengan suksesnya organisasi-organisasi lain yang mendukung “Agama Tionghoa”. Untuk melindungi persatuan mereka, PTITD Pusat rupanya memfokuskan secara khusus dengan menyediakan instruksi-instruksi dan pengetahuan khusus yang berhubungan dengan upacara-upacara di klenteng-klenteng.
PTITD Komda Jateng sedang mencoba memperluas otonominya sementara menghindar dipisahkan oleh kekuatan-kekuatan dari ketiga “agama” yang berbeda dengan mendirikan penafsiran baru atas apa “Tri Dharma” itu.
Seperti diuraikan di atas, organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” yang mengalami kebebasan yang makin meningat dalam akitivitas mereka di tengah-tengah suasana sosial politik dalam masa sesudah rezim Soeharto, sedang menghadapi tekanan yang makin memuncak untuk membentuk raison d’etre baru. Ini diperlukan dalam hal formalitas dari organisasi-organisasi keagamaan dan sistematisasi “keimanan” mereka sebagai orde keagamaan. Dan dengan kebebasan yang semakin meningkat, nampaknya organisasi-organisasi didesak memperlihatkan raison d’etre mereka bukan lagi terhadap negara, melainkan terhadap organisasi-organisasi “Agama Tionghoa” yang saling bersaing.
Untuk mempertimbangkan perkembangan setiap organisai menuju pelaksanaan dari penetapan doktrin dan standardisai upacara dengan caranya masing-masing, perlu dipertanyakan apakah “keimanan” yang secara tegas disusun sebenarnya perlu untuk praktek keagamaan di klenteng-klenteng. Untuk membuat pertanyaan lebih mudah dimengerti, mungkin perlu menjajarkan konsep-konsep klasik yang bertentangan, yaitu “agama wahyu (revealed/ founded religion)” dan “agama alam (natural/ folk religion)”. Bila kita mengadakan hipotesa bahwa dalam praktek keagamaan di klenteng-klenteng tekanan yang lebih besar ditempatkan pada “agama alam”, maka menjadi jelas bahwa pencarian untuk sebuah sistem keagamaan yang solid adalah sebuah lompatan yang besar. Terlebih lagi, hipotesa ini menampakkan bahwa pengertian “Tiga-Ajaran” itu sendiri menunjukkan usaha untuk menerangkan “agama alam” melalui pola pikir “agama wahyu”. Yaitu dengan teliti mengidentifikasikan sistem kegamaan yang tak bias dipisahkan dari adat dengan telah lama ditanamkan dalam masyarakat, lalu mendifinisikannya berasal dari ketiga elemen Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, lalu kemudian menggarisbawahi sinkretisasi ketiga elemen tersebut. Metode ini yang menerangkan konsep “Tiga-Ajaran” adalah penjelasan berputar-putar, namun dalam kenyataannya bahwa mereka melakukan usaha besar untuk semakin memurnikan metode penjelasan ini, kita dapat melihat historisitas dalam konsep “agama” yang telah dipelihara oleh modernitas kolonial dan konteks sosial politik Indonesia abad ke-20 yang sangat unik35. Selama rezim Soeharto berlangsung lebih dari tiga dekade, prinsip-prinsip unik yang menggambarkan “apa seharusnya agama itu”, yang cendurung dibentuk dari sudut pandang “agama wahyu” yang bersifat monotheis, telah benar-benar ditanamkan baik secara kelembagaan maupun secara sosial. Dalam situasi ini, organisasi-organisasi keagamaan mau tidak mau menyadari sepenuhnya akan kurangnya sistematisasi “keimanan”. Dan kurangnya sistematisasi itu kemudian dapat menyebabkan tekanan pada organisasi itu sendiri.
Pada tingkatan yang lain, kekuatiran yang umum di dalam masyarakat etnik Tionghoa dewasa ini adalah semakin banyak orang, terutama generasi muda, beralih kepercayaannya. Mereka menganggap kepercayaan yang berpusat pada klenteng-klenteng36sebagai kuno dan tidak keren, dan mereka berangsur-angsur beralih ke agama lain seperti Nasrani, yang dianggap lebih bersifat mutakhir baik dalam bentuk luar dan keimanan37. Walaupun kebebasan beragama makin bertambah di masa pasca Soeharto, tekanan ini telah berlanjut dan berkembang.
IV. Sumber-sumber Pengetahuan Keagamaan
1. Sumber-sumber Intelektual
Dalam masa pasca Soeharto, dan ditambah oleh faktor-faktor seperti pengakuan resmi terhadap Konfusianisme dan membangkitnya organisasi-organisasi Taosime, konfigurasi dalam “Agama Tionghoa” mengalami perubahan besar. Di bawah tekanan untuk mereorganisasi, organisasi-organisasi ini sibuk melakukan sistematisasi untuk memperoleh kemajuan sambil mempertahankan persatuan. Lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk menyajikan kesimpulan yang komprehensif tentang situasi yang berlangsung ini. Namun sebagai studi awal, jika kita memperhatikan sumber-sumber pengetahuan bagi organisasi-organisasi masing-masing dalam usaha reorganisasi ini, akan menyoroti beberapa karakteristik dari gerakan ini ke arah sistematisasi keagamaan.
a) Majelis Tridharma
Garis silsilah Sam Kauw Hwee yang didirikan oleh Kwee Tek Hoay, diturunkan ke Majelis Tridharma di Jawa Barat. Setelah kematian Kwee, Maha Pendeta Sasanaputera Satyadharma38 memainkan peranan penting untuk mendukung aspek-aspek ideologi organisasi sampai sekarang. Karakteristik yang menonjol dalam tulisan-tulisannya adalah penekanan bahwa Tridharma sebagai agama yang unik di Indonesia, yang lahir sebagai respon terhadap peralihan agama secara besar-besaran dari orang Tionghoa pengikut Buddhis ke Kristen sejak akhir abad ke-19, dan kegagalan gerakan di awal abad ke-20 yang mengubah ajaran-ajaran Konfusius menjadi “Agama Tionghoa” (Satyadharma 2004: 6). Ia kemudian menyebutkan beberapa tokoh utama dalam sejarah China seperti Lu Dongbin (吕洞宾), Wang Chongyang (王重阳), Li Chunfu (李纯甫) dan Zhu Xi (朱熹), yang biasanya disebut ketika membicarakan akar filosofi dari “Tiga-Ajaran” di luar Indonesia (Satyadharma 2004: 6). Namun, tidak jelas apakah ada hubungan langsung yang konkrit antara filosofi dari tokoh-tokoh ini dan Majelis Tridharma. Sesungguhnya Majelis Tridharma tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka hubungan organisasi atau persekutuan dengan organisasi-organisasi di China atau di tempat lain. Sebaliknya mereka bekerja untuk memurnikan jalur yang telah dirintis oleh Kwee.
b) PTITD Pusat
Oei Bie Ing yang sampai kematiannya dalam tahun 2001, menjabat bertahun-tahun sebagai Wakil Ketua dan Ketua Bidang Agama di PTITD Pusat, dalam tulisan-tulisannya mendebat bahwa praktek kepercayaan di klenteng-klenteng berasal dari agama kuno dari Timur (Agama Timur Kuno/ Paleo Orientalik) (Oei n.d.). Tentu saja, cakupan keagamaan yang dijelaskannya seperti ini berasal jauh sebelum Kwee Tek Hoay39. Memperkenalkan Tri Dharma sebagai bentuk keagamaan terhadap “Roh Suci”, sesuatu yang fundamental dan universal untuk semua manusia dan karena itu bukan sesuatu yang harus segera disingkirkan, melengkapi argumentasi yang diulangi oleh organisasi ini dalam dokumen-dokumen resminya selama pemerintahan rezim Soeharto (Tsuda 2012b: 392). Dari pandangan ini PTITD Pusat agaknya mengekor di belakang Majelis Tridharma dalam membentuk doktrin konkrit. Namun, PTITD Pusat selangkah lebih ke depan dalam hal standardisasi upacara-upacara, yang disahkan dengan menunjukkan kebenarannya melalui keagamaan universal (pemujaan Roh Suci) dari seluruh manusia (terutama di “Timur”). Diperdebatkan bahwa organisasi secara konsisten menekankan orthopraxy sebagai pelengkap untuk “keimanan” sejak masa Soeharto sampai sekarang. Namun PTITD Pusat pun mempunyai kebutuhan mendesak untuk mendirikan orthodoxy yang bersifat doktrin40.
c) PTITD Komda Jateng
Seperti disebutkan sebelumnya, PTITD Komda Jateng telah mengeluarkan suatu penafsiran baru tentang Tri Dharma. Selain itu PTITD Komda Jateng baru-baru ini telah menerbitkan serangkaian buku-buku tentang pengetahuan yang lebih konkrit meliputi berbagai topik termasuk garis pedoman doktrin dan praktek. Sebuah contoh adalah buku berjudul “Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa”. yang diterbitkan pada tahun 2011. Buku berhalaman 300 lebih yang dilengkapi dengan tinjauan luas tentang Tri Dharma dan setiap dari ketiga ajaran, diikuti dengan penjelasan tentang perayaan-perayaan traditional (“hari perayaan rakyat”), cara-cara doa (pernak-pernik pemujaan), uraian dan komentar detil tentang berbagai simbol kebudayaan (lambing-lambang dalam kelenteng) seperti naga, quilin dan Bagua (八卦), dan diakhiri dengan garis pedoman singkat untuk mempraktekkan disiplin diri (“pembinaan diri”) sebagai umat Tri Dharma yang baik. Buku ini agaknya ditulis untuk menjawab langsung kebutuhan-kebutuhan umat Tri Dharma yang mencari pedoman pengetahuan dan praktis41. Selanjutnya ada sebuah buku yang tebal yang baru-baru ini diterbitkan oleh PTITD Komda Jateng berjudul “Dewa-dewi Tridharma”. Buku ini memilih lebih dari 140 dewa-dewi yang ditempatkan di klenteng-klenteng Tionghoa dalam kategori-kategori, seperti dewa-dewi yang berasal dari Buddhisme, Taoisme maupun yang berasal dari kepercayaan rakyat, dilengkapi dengan komentar-komentar pada legenda dan kekuatannya42. Selanjutnya PTITD Komda Jateng telah membagikan sebuah buku kecil (Kumpulan Surat-surat Doa) yang berisi kalimat-kalimat doa yang digunakan untuk semua festival musiman dan upacara-upacara yang berhubungan dengan dewa-dewa yang dirayakan di Hok Tek Tong (福德堂) di Parakan, Jawa Tengah pada tahun 2007. Semua surat-surat doa ini dibuat oleh Tan Sioe An (Handoko), yang lahir tahun 1951 di Parakan, dan mereka semua mempunyai struktur dasar yang awalnya terdiri dari tiga kali nyanyian, “Aum Ah Hum”, diikuti oleh doa dalam bahasa Indonesia, dan ditutup dengan tiga kali nyanyian, “Sian Cay”. Tan adalah pengarang teks yang disiapkan untuk upacara pemberian sertifikat kepada Pandita di PTITD Komda Jateng, dimana ia mengutip secara luas dari buku komersial tentang Feng Shui (风水). Dalam buku itu Tan melengkapinya dengan informasi topik seperti Lima Frasa (五行Wuxing) untuk mengenal alam semesta, Delapan Huruf (八子Bazi) untuk meramal, dan bagaimana memilih nama Tionghoa yang baik untuk seorang bayi (Martrisia Komda Jateng 2007: 23-26). Pendek kata, PTITD Komda Jateng, dengan sejemulah kecil intelektualnya seperti Tan Sioe An dan Kwa Tong Hay43 memberikan dukungan intelektual dalam hal doktrin dan praktek upacara-upacara.
2. Titik-titik Referensi untuk “Cara yang Benar”
Dalam sistematisasi keagamaan mereka, tidak satupun dari organisasi-organisasi itu yang mencari pengetahuan atau titik-titik referensi dengan melihat ke tempat-tempat yang umumnya dianggap sebagai “pusat Peradaban Tionghoa”, yaitu China dan Taiwan, ataupun juga Hong Kong dan Singapura. Bahkan, tidak ada tanda-tanda bahwa organisasi-organisasi ini mengembangkan persekutuan degan sekte di luar Indonesia. Salah satu alasan adalah rintangan Bahasa (Tsuda 2012a: 191-192), tetapi alasan yang lebih penting adalah bahwa semua organisasi ini telah/ sendang mencari “cara yang benar” dalam masing-masing pengertiannya. Adalah benar bahwa di sepanjang sejarah modern dan kontemporer, gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menyusun (kembali) berbagai tradisi, kepercayaan, atau bahkan lingkup dari “agama” itu sendiri sebagai “Agama Tionghoa” berkembang di seluruh China daratan dan Asia Tenggara (Duara 2008; Yang 2008). Namun, berbagai organisasi (sekte) Indonesia yang telah sukses didirikan melalui gerakan-gerakan ini telah difokuskan secara lokal, membuat konsesi-konsesi untuk menanggulangi situasi social politik local/ nasional, dan melihat ke dalam dari pada ke luar, dalam usaha mereka mempertahankan atau mencari “cara yang benar” yang dapat diterima oleh standard masing-masing. Dalam hal demikian, meski barangkali ada sebuah organisasi (sekte) dari luar menjunjung tinggi fusi dari elemen keagamaan yang sama dengan menggunakan istilah seperti “Kesatuan dari Tiga-Ajaran” (三教合一) atau “Tiga-Ajaran Bergabung menjadi Satu” (三教归一), bukan suatu opsi bagi organisasi Tiga-Ajaran di Indonesia untuk mengimpor penafsiran doktrin dan metode upacara secara keseluruhan, meskipun mereka mungkin dapat meminjam sedikit fragmen/ kepingan. Majelis Tridharma adalah contoh utama dalam hal ini. Bagi mereka “cara yang benar” adalah sesuatu untuk dicari di dalam sumber-sumber pokok mereka, yaitu ajaran-ajaran dan kitab-kitab suci dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, begitu juga tradisi-tradisi keagamaan yang diturunkan dari Kwee Tek Hoay. Dengan demikian sebetulnya tidak ada keharusan bagi mereka untuk mencari apa yang disebut “arus utama dari tradisi Tionghoa asli”.
3. Disparitas Pengetahuan dan Penyebaran rasa “Kekurangan Keyakinan”
Isi dari pengetahuan keagamaan yang perlu sekali bagi orde-orde keagamaan ini dipertahankan oleh sejumlah kecil intelektual. Situasi seperti ini mungkin bukan hal-hal yang unik dalam keagamaan secara umum. Namun, suatu karakteristik yang jelas dari “Agama Tionghoa” di Indonesia yang kontemporer adalah disparitas yang ektrim dari pengetahuan yang bukan hanya dalam bidang keagamaan dalam pengertian sempit, melainkan dalam bidang yang lebih luas meliputi “hal-hal yang terkait dengan Tionghoa” termasuk adat, tradisi dan filsafat (bahkan bagaimana memilih nama Tionghoa yang baik bagi seorang bayi). Salah satu alasan utama untuk hal ini di Indonesia saat ini mungkin adalah bahwa informasi tentang “kebudayaan Tionghoa” tidak disebarkan secara luas atau dengan bentuk mudah dibaca masyarakat; memang bahan-bahan cetakan semacam itu sangat terbatas dan kebanyakan mereka tidak dalam bahasa Indonesia. Meskipun larangan untuk bahan-bahan cetakan beraksara Mandarin sudah dihapuskan dalam masa pasca Soeharto, jumlah orang yang bisa membaca bahasa Mandarin sangat terbatas (Tsuda 2012a: 191-192). Selain itu, penindasan terhadap maupun penahanan diri diantara etnik Tionghoa selama rezim Soeharto, dan meningkatnya kecenderungan untuk melepaskan diri dari “kebudayaan Tionghoa” terutama di antara kaum muda, merupakan isu fundamental. Dengan demikian, pengetahuan tentang “kebudayaan Tionghoa” tidak lagi tersebar dalam banyak masyarakat etnik Tionghoa. Seperti yang saya diskusikan di atas dalam studi kasus dari klenteng-klenteng di Rembang, sejumlah besar etnik Tionghoa tidak bisa menjawab dengan penuh keyakinan atau menunjuk pada sumber yang nyata ketika ditanya apakah sebenarnya “ajaran yang benar” dan apakah sebenarnya “cara yang benar” untuk melaksanakan ritual dari “Agama Tionghoa”. Situasi ini memungkinkan bagi sejumlah intelektual memainkan peranan penting dalam membentuk kembali “Agama Tionghoa”. Fakta bahwa mereka mengakui ketidakmampuan untuk mempertahankan pengetahuan keagamaan sebagai sesuatu yang “tertanamkan dalam masyarakat”, dan mengakui pula keadaan seperti itu sebagai masalah serius, yang telah mendorong sejumlah organisasi keagamaan untuk berusaha mensistematisasikan pengetahuan doktrin dan prosedur upacara, seakan-akan mengkompensasi apa yang telah hilang. Pengetahuan dalam konteks ini meliputi tidak hanya doktrin-doktrin dan prosedur upacara yang menunjang organisasi-organisasi keagamaan, tetapi juga hal-hal yang lazim dikategorikan sebagai “budaya”, seolah-olah memunuhi informasi mengenai bidang-bidang dimana masyarakat mengalami “kekurangan keyakinan”. Dengan ini lingkup dari “Agama Tionghoa” mempunyai potensi untuk menyebar dan mengatur kembali lingkup yang jauh lebih luas bahkan meliputi “budaya Tionghoa” itu sendiri.
Pada awal artikel ini saya menyebutkan penyembahan dewa-dewa denganmenggunakan dupa dan kertas sebagai praktek yang umum di klenteng-klenteng saat ini. Berbagai praktek ini masih dilakukan di bermacam daerah, meski variasi-variasi daerah maupun individu tetap ada. Hal ini, bila dipertimbangkan secara terpisah, rupanya mendukung argumentasi terkenal dari James Watson yang menitikberatkan betapa kuatnya aspek praktek di dalam upacara-upacara Tionghoa (Watson 1988)44. Dengan meminjam argmentasi tersebut, kita tergoda untuk segera menyimpulkan bahwa aktivitas dari berbagai organisasi keagamaan yang disebutkan secara detil disini sebenarnya sangat jauh dari realitas orang-orang sehari-hari. Argumentasi saya pada akhir Bab III dalam artikel ini mungkin saja dapat ditafsirkan bahwa organisasi yang membawahi klenteng-klenteng di tiga daerah di Jawa, bila dipandang secara sangat sinis, sedang mencoba untuk mensistematisasi keagamaannya dengan menstandardisasi doktrin dan upacara-upacara untuk memperbaiki penampilan luar mereka sepaya bisa bersaing dengan agama-agama lain atau organisasi keagamaan lain45. Namun, pandangan semacam ini bersifat sepihak dalam pengertian kenyataan. Sebaliknya saya kira organisasi-organisasi ini tidak hanya melihat pada organisasi-organisasi lain, tetapi secara aktif mencoba mengamati dan menyesuaikan diri pada keadaan sebenarnya di dalam masyarakat etnik Tionghoa. Jika kita melihat gerakan organisasi-organisasi ini ke arah sistematisasi keagamaan sebagai usaha-usaha mereka untuk menjawab rasa “kekurangan keyakinan” dari etnik Tionghoa mengenai doktrin dan upacara, dapatlah kita simpulkan bahwa ini bukanlah persoalan yang memilih ini atau itu: organisasi-organisasi tidak harus memilih antara “penafsiran doktrin yang benar” (orthodoxy) dan “praktek upacara yang benar” (ortopraxy). Organisasi-organisasi ini yang menganggap diri mereka mempunyai pengetahuan keagamaan, sedang mencoba untuk mengemukakan kembali “Agama Tionghoa” dari segi baik ideologi (isi) maupun praktek (bentuk), bahkan dari segi “budaya”. Nampaknya, mode keagamaan ini, yang telah menjaga eksestensinya serupa “agama alam” yang tertanam secara social, sedang dilengkapi dengan konsep yang punuh kesistematisan dan melengkapi masyarakat dengan prinsip-prinsip pembimbingan dari sudut pandang baik “orthodoxy yang benar” maupun “orthopraxy yang benar”.
Jangkauan artikel ini terbatas pada pengenalan dan analisa dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para pemimpin organisasi keagamaan individu, terutama di masa pasca Soeharto, yang telah mengalami suatu pembebasan dalam ruang sosial. MBisakah organisasi-organisasi ini mendapat arti (raison d’etre) yang lebih kokoh, atau menyediakan arti (kebenaran) yang lebih bermakna terhadap klenteng-klenteng di bawah payung mereka maupun pengikutnya? Sebelum kita bisa memberikan sebuah jawaban yang konkrit, atau memastikan mode-mode baru keagamaan yang berkembang dari “Tiga-Ajaran” yang tersistematisasi, perlu diadakan penelitian yang lebih teliti lagi.
Pengakuan
Artikel ini adalah terjemahan langsung dari makalah yang diterbitkan dalam DORISEA Working Paper Series No. 18, berjudul “Systematizing ‘Chinese Religion’: The Challenges of ‘Three-teaching’ Organizations in Contemporary Indonesia” pada 2015. Makalah berbahasa Inggris tersebut dibuat melalui banyak penulisan kembali dari sebuah artikel yang sebelumnya diterbitkan dalam Journal of Chinese Overseas Studies Vol. 9 halaman 72-94, pada tahun 2012 dalam Bahasa Jepang. Penelitian ini ditunjang oleh Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) KAKENHI Grant Number 24710282.
Tsuda Koji adalah Associate Professor di Fakultas Antropologi, Universitas Tokyo. Penelitiannya sekarang difokuskan pada kehidupan sosial dan kepercayaan etnik Tionghoa dan representasi budaya di Indonesia modern.
Catatan kaki
1Dalam artikel ini, “Agama Tionghoa” merujuk kepada apa yang secara umum dianggap sebagai “agama-agama tradisional etnik Tionghoa”. Namun seperti yang dijelaskan dalam artikel ini, istilah ini sama sekali tidak mengacu kepada tradisionalitas dalam arti sebuah agama yang sejak masa lalu terus-menurus dijaga/ dipelihara dalam bentuk aslinya.
2Lihat Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun 1988 tentang Penataan Klenteng yang menyatakan bahwa unsur-unsur yang terkait dengan klenteng-klenteng harus dihindarkan karena “tatabudaya asing” itu tidak sesuai dengan “kepribadian Indonesia”.
3Dalam proses ini, mereka memikirkan dan membentuk kembali sifat dan arti keagamaan dan upacara-upacara yang sampai titik itu telah diturunkan tanpa kesadaran untuk menyelidikinya. Sampai taraf tertentu, gerakan ini mempunyai kesamaan dengan penggeseran lingkup “agama” yang terjadi baik di daratan China dan di tempat lain. Gerakan ini adalah sebuah akibat dari “modernity” yang diwujudkan oleh “Barat”, yaitu masyarakat Kristen. Dalam pemikiran ini, seperti halnya konsep “bangsa Tionghoa” sebagai suatu golongan, konsep “agama” adalah sebuah penemuan baru pada pergantian abad ke-20 (Duara 2008: 54-64; Yang 2008).
4Ini tentu saja tidak berarti bahwa aktivitas-aktivitas keagamaan sama sekali tanpa pengawasan; tindakan keras terus dilakukan terhadap setiap aktivitas yang menyebabkan resiko terhadap “keamanan’ dan “ketatatertiban”. Selanjutnya, peristiwa-peristiwa seperti serangan terhadap suatu golongan yang dianggap sebagai Islam “bida’ah”, dan beberapa gereja Kristen yang berjuang untuk mendapatkan izin bangunan, menunjukkan adanya perselisihan agama yang semakinsengit. Dalam taraf tertentu, persoalan-persoalan ini telah dilepaskan dari genggaman negara ke bidang sosial, dimana mereka menyebabkan ketegangan di antara “sekte-sekte” atau dengan lingkungan penduduk sekitarnya (Hasan 2008).
5Organisasi-organisasi yang dibicarakan dalam artikel ini terbatas pada mereka yang berada di Jawa, yang merupakan pusat kegiatan politik, ekonomi dan sosial Indonesia. Ini disebabkan bahwa meskipun organisasi-organisasi yang mengatur klenteng-klenteng di banyak tempat di Indonesia mempunyai banyak cabang di luar Jawa, namun kantor pusat dan aktivitas mereka selalu dipusatkan di Jawa.
6Ada beberapa contoh tersendiri dari beberapa klenteng di ujung timur pelau Jawa. Didiskusikan bahwa beberapa klenteng di wilayah itu telah dibangun dengan cara “membagi abu (分香火)” dari sebuah klenteng utama (Salmon & Sidharta 2000). Meskipun demikian, hubungan sejarah di antara klenteng-klenteng yang tetap diingat sampai hari ini sangatlah jarang. Pengecualian ini termasuk Tay Kak Sie (大觉寺) dan Sam Poo Kong Bio (三保公庙) di Semarang, Jawa Tengah.
7Tridharma kadang-kadang dieja dalam dua kata sebagai “Tri Dharma”. Sebagaimana akan diterangkan kemudian, organisasi yang ikut dalam jajaran Sam Kauw Hwee, dan yang akan memperluas basisnya di Jawa Barat menggunakan “Tridharma” untuk menekankan kesatuan dari elemen-elemen ketiga ajaran, sementera organisasi yang berkembang kemudian di Jawa Timur telah menggunakan kata “Tri Dharma”.
8Meskipun detil-detil tepat dari mana Kwee mendapatkan pengetahuan tentang filosofi Tionghoa tidak jelas, ia terkenal telah dipengaruhi oleh karya dari J.J.M de Groot (1854-1921), Lin Yu Tang (林语堂, 1895-1976), dan juga oleh aktivitas-aktivitas Batavia Buddhist Association (Asosiasi Buddhis Batavia) dan The Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi) (Rees 1987: 66; 1989: 197-199, 203).
9Kwee nampaknya mengerti “Agama Tionghoa” yang terdiri dari dua tingkatan: tingkatan tinggi – “filosofi” meliputi ajaran-ajaran Shakyamuni, Konfusius dan Lao-tze – yaitu bagi mereka yang telah memperoleh tingkat yang lebih tinggi di dalam kesadaran spiritual, dan tingkatan rendah – “agama” yang berpusat pada penyembahan dewa-dewa dan leluhur. Awalnya Kwee mempunyai pandangan negatif terhadap “agama” dari sudut pandang memodernisasikan masyarakat Tionghoa. Namun, Kwee akhirnya berpikir bahwa penyembahan “agama” tidak seharusnya ditolak, sebab hal itu dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran bagi mereka yang berada di tingkat yang lebih rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi (Rees 1987: 65-66, 69-70).
10Di awal abad ke-20, Kekristenan dikaitkan secara kuat dengan kolonis Belanda, dan karena itu pengalihan ke Kristen dianggap sebagai kehilangan identitas etnik. Namun, dalam tahun 1930-an, mulai muncul pekabar-pekabar injil dan gereja-gereja yang khusus melayani etnik Tionghoa, dan penolakan terhadap pengalihan agama di antara etnik Tionghoa berangsur-angsur mulai menurun (Rees 1987: 41-46, 67, 73-76).
11Organisasi ini mula-mula dibentuk sebagai asosiasi klenteng-klenteng di propinsi Jawa Timur. “Se-Indonesia” tidak diterapkan dalam namanya sampai akhir tahun 1968.
12Sebagai bagian dari kebijakan untuk mengawasi agama-agama, dari sekitar tahun 1976 rezim Soeharto mendukung terbentuknya sebuah badan koordinasi di antara berbagai sekte-sekte Buddhis, dan di tahun 1979 WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) berhasil dibentuk. Sejak lahirnya WALUBI, Martrisia sudah menjadi anggota organisasi ini.
13Martrisia, yang dibentuk sebagai akibat dari penggabungan bagian rohaniwan-rohaniwan dari kedua organisasi di Jawa Timur dan Jawa Barat, secara de facto adalah kesatuan yang sama dengan PTITD; organisasi ini kadang-kadang menamakan dirinya sendiri “PTITD-Martrisia” ketika berhubungan secara ekternal dengan badan-badan pemerintah.
14Namun, banyak dari klenteng-klenteng yang bergabung dengan “Tri Dharma” mempunyai meja sembahyang tambahan dengan menempatkan “Tri Nabi (三教圣人)”, yaitu Shakyamuni, Konfusius dan Lao-tze (Tsuda 2012b: 392). Dalam hubungan ini kita dapat menyimpulkan bahwa Martrisia sebenarnya mempertahankan penampilannya sebagai sebuah orde keagamaan.
15Dalam kongres yang diadakan pada tahun 1976, yang tidak lama sebelum bergabung dengan PTITD di Surabaya, GTI, penerus langsung dari Sam Kauw Hwee, telah mengeluarkan sebuah resolusi yang mengakui Kwee Tek Hoay sebagai “Bapak Tridharma Indonesia” untuk menghormati sumbangan-sumbangannya demi perkembangan Buddhisme Indonesia, khususnya Tridharma. Dalam resolusi ini termasuk juga keputusan untuk merayakan hari ulangtahun beliau pada tanggal 31 Juli sebagai “Hari Tridharma”. GTI juga minta pengurus-pengurus dari klenteng-klenteng yang bergabung untuk memajang foto Kwee dalam klenteng mereka sebagai bentuk penghormatan kepadanya (Ruslim 200: 3-4).
16Catatan ini didasari sebuah wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2010 dengan Budiyono Tantrayoga. Pada tahun 1996 WALUBI mengalami konflik internal mengenai penafsiran AD/ART mereka. Kekacauan yang berlangsung mengakibatkan pembubaran organisasinya oleh beberapa anggota kepemimpinan pada tahun 1998, diikuti oleh pembentukan kembali sebuah organisasi baru (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), meskipun nama singkatannya tetap sama. Pada tahun 1999 beberapa organisasi Buddhis yang menentang WALUBI baru ini bergabung membentuk Konferensi Agung Sangha Indonesia, disingkat KASI. Dalam situasi inilah PTITD-Martrisia tinggal di dalam kerangka WALUBI yang baru, sedang Majelis Tridharma bergabung dengan KASI. Pecahnya organisasi “Tiga-Ajaran” yang tadinya menyatu tentu saja secara kompleks ada kaitannya dengan unsur-unsur politik dan pribadi, dan tidak seharusnya dipahami semata-mata sebagai akibat frustrasi terhadap kekurangan aktivitas-aktivitas keagamaan.
17Judul asli adalah “Tridharma sebagai Satu Kesatuan (Sam Kauw It Lee/ Tridharma Eka Marga)” (Panitia Peringatan Hari Tridharma 2009: n.pag.).
18Dalam kata pengantar dinyatakan bahwa artikel ini awalnya ditulis untuk dipresentasikan pada saat diadakan “Forum Penataran Pengasuh Sekolah Minggu dan Remaja Tridharma” yang diselenggarakan bulan Desember 2008 di Banten. Perlu dicatat bahwa Maha Pendeta Sasanaputera Satyadharma, yang saya perkenalkan kemudian dalam artikel ini, juga mendiskusikan “Sam Kauw It Li” (Satyadharma 2004: 17-22). Karena itu cara penjelasan yang dilakukan dalam artikel ini yang menyinggung korelasi di antara ketiga ajaran, tidak dapat diasumsikan sebagai ciptaan asli oleh Budiyono. Perlu dicatat juga bahwa menurut Budiyono, karena kitab suci sudah ada untuk setiap ajaran dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, Majelis Tridharma saat ini tidak mempunya rencara untuk menciptakan kitab suci baru sendiri dengan menghimpun ketiganya. Budiyono menyatakan bahwa, jauh sebelum zamannya Kwee Tek Hoay, upacara-upacara telah lama terus-menerus dilaksanakan sesuai dengan setiap ajaran, dan bahwa upacara-upacara tersebut berada dalam suatu keadaan terpadu yang tidak terpisahkan ke ajaran masing-masing.
19Catatan ini berdasar pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2010 di kantor Budiyono Tantrayoga.
20Perlu dicatat bahwa keputusan untuk mengadakan kongres agak terlalu tergesa-gesa, karena kepemimpinan di Surabaya didorong oleh keadaan mendesak untuk menghadapi gerakan dari Majelis Tridharma yang baru dibentuk, dan juga perkembangan organisasi-organisasi Konfusianis dan Taois yang telah giat melakukan aktivitas-aktivitas sejak awal tahun 2000-an (Tsuda 2012b: 395-396). Dengan demikian, kategori-kategori yang dinyatakan sebagai rancangan program lima-tahun nampaknya tidak secara teliti direncanakan, dan tidak direalisasikan sampai sekarang.
21Dalam kategori kedua “bidang agama/ dharma/ kependetaan rohaniwan dan sarana keagamaan, serta seni agama” jumlahnya ada 19 sub-kategori, termasuk menetapkan/ menyusun “buku pedoman Tridharma”, “bahan pedoman ceramah dan upacara dalam bentuk multimedia”; mengadakan kunjungan antar TITD (baca: klenteng-klenteng) dengan mengikutsertakan Umat; dan membentuk kegiatan kebaktian Minggu atau pada tanggal 1 dan 15 Imlek. Dalam kategori terakhir “bidang hubungan luar negeri” hanya dinyatakan: “membuka jalur hubungan luar negeri yang berkaitan dengan Keagamaan Tridharma dalam era globalisasi”.
22Meskipun kedua klenteng di Rembang tidak berafiliasi dengan PTITD (Tsuda 2011: 101-102), kasus yang disebutkan di bawah akan menyoroti bagaimana pengetahuan tentang praktek-praktek upacara telah dipelihara di setiap klenteng.
23Locu (炉主) di Tjoe Hwie Kiong dipilih dengan menggunakan sepasang balok pwee (筶) setiap tahun pada saat ulangtahun dari dewi Tian Shang Sheng Mu (天上圣母). Pada masa lalu kalimat-kalimat doa dalam bahasa Hokkian dibacakan sebelum melempar pwee tersebut. Kebetulan anak laki-laki Cheng ingat kalimat-kalimat doa ini, tapi hanya suara dari kata-kata ini secara samar-samar. Namun, belakangan ini begitu mendengar bahwa kalimat-kalimat doa dalam bahasa Mandarin pada saat melempar pwee masih dilakukan di Semarang, seorang anggota dari pengurus klenteng Rembang, Liong Kam Kiat, membandingkan versi itu dengan apa yang dingat oleh anak laki-laki Cheng, yang ternyata sangat tepat. Maka sejak tahun 2009 kalimat-kalimat doa dalam bahasa Hokkian dihidupkan kemballi di Tjoe Hwie Kiong pada saat acara pemilihan Locu. Catatan ini berdasar pada sebuah wawancara dengan Liong Kiam Kiat di rumahya pada tanggal 12 Agustus 2011.
24Pada tahun 1996 ketika kedua klenteng- di Rembang memutuskan untuk merubah status dari vihara (fasilitas keagamaan resmi) ke klenteng (fasilitas budaya Tionghoa), pengorganisasian kembali pengurus yayasan juga dilakukan pada saat yang sama (Tsuda 2011: Bagian 2). Bukan suatu kebetulan bahwa momen ketika pengetahuan tentang upacara-upacara hanya dimiliki oleh seorang individu tua terasa menjadi sebuah masalah, dan momen ketika susunan kepengurusan dan pembagian tugas di dalam yayasan dipertimbangkan kembali, terjadi bersamaan.
25Catatan ini didasari oleh wawancara dengan kepala seksi sembahyangan di kedua klenteng di Rembang pada tanggal 11 Agustus 2011.
26Ini adalah sebuah buku kecil, 26-halaman termasuk iklan-iklan, dan judul aslinya sebagai berikut: Lie Ping Lien 1950. Tentang Sembahyang Tuhan Allah (King Thi Kong), Semarang: Khong Kauw Hwee Semarang. Fakta bahwa buku referensi semacam ini telah beredar dalam jumlah besar sejak awal abad ke-20 membuktikan tidak hanya adanya minat akan pengetahuan yang berhubungan dengan keagamaan dan tradisi, tetapi juga bahwa “kekurangan keyakinan” akan pengetahuan itu adalah sebuah fenomena yang secara historis dapat ditemukan secara luas di seluruh masyarakat etnik Tionghoa.
27Catatan ini berdasar pada sebuah wawancara dengan Liong Kiam Kiat di rumahnya pada tanggal 12 Agustus 2011.
28Dlam kondisi banyaknya etnik Tionghoa yang tidak tertarik pada pengetahuan tentang upacara-upacara, fakta bahwa keberlanjutan upacara-upacara dipertahankan oleh “peneliti-peneliti amatir yang giat” seperti Liong, adalah suatu hal yang tidak bisa diabaikan.
29Harus dicatat bahwa secara luas, detil-detil dari upacara-upacara tidak berbeda secara drastis di antara klenteng-klenteng. Dalam hubungan ini, penggunaan kalimat-kalimat doa dalam bahasa Indonesia di Rembang agaknya mungkin aneh bila dibandingkan dengan “tradisi asli” yang biasanya diharapkan. Namun, saya mendapati suatu kasus yang sungguh sama di Lasem, kota yang berdekatan dengan Rembang. Mungkin saja di beberapa tempat lain pun terjadi respon yang serupadengan di klenteng-klenteng di daerah sekitar Rembang tentang kalimat-kalimat doa, karena faktor-faktor seperti tekanan sosial terhadap “hal-hal berbau Cina”, dan juga seperti kemampuan bahasa (Mandarin maupun Hokkian) yang sangat terbatas di dalam komunitas-komunitas lokal.
30Berbeda dengan Jawa Timur dimana klenteng-klenteng hampir secara seragam bergabung dalam PTITD, beberapa klenteng di Jawa Tengah mencari jalan sendiri-sendiri dengan berafiliasi dengan organisasi keagamaan lain, seperti organisasi-organisasi Buddhis Mahayana dan Theravada (Tsuda 2012b: 391-393).
31Di Indonesia dewasa ini, munurut peraturan, perkawinan akan disahkan resmi jika pasangan diberkati dengan kehadiran seorang rohaniwan dari agamanya, yang kemudian memberikan sebuah sertifikat ke kantor catatan sipil. Proses pengakuan administratif dalam pencacatan sipil inilah yang PTITD Komda Jateng sebagai organisasi keagamaan yang diakui resmi, secara aktif berusaha untuk terlibat di dalamnya.
32Catatan ini didasari pada sebuah wawancara dengan sekretaris PTITD Komda Jateng, yang dilakukan di kantornya pada tanggal 1 Agustus 2011.
33Catatan ini didasari oleh wawancara dengan David Herman Jaya pada tanggal 31 Juli 2011 di kantor bisnisnya di Semarang. Ia dididik di sekolah-sekolah protestan sampai tingkat SMP. Kemudian ketika menjabat sebagai pimpinan pengurus di sebuah klenteng di Magelang, ia secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan PTITD Komda Jateng. Menurut David, ia mencapai penafsiran baru tentang Tri Dharma melalui suatu proses termasuk membaca secara bebas dan perdebatan dengan keluarga dan para rohaniwan.
34Iniatif-inisiatif dari PTITD Komda Jateng belum mencapai suatu titik dimana organisasi ini ikut campur tangan dalam setiap aspek praktek-praktek keagamaan para penganut. Menurut Herman Jaya, focus pada tujuan sekarang dari PTITD Komda Jateng adalah menanamkan ajaran (doktrin) secara berangsur-angsur.
35Kita telah melihat dalam pengertian Kwee Tek Hoay mengenai “Tiga-Ajaran” yang diuraikan dalam Catatan kaki 9, dimana ia melakukan pendekatan untuk menanamkan makna-makna terhadap praktek-praktek adat keagamaan dengan pemikiran filosofis.
36Harap diingat bahwa usaha Majelis Tridharma untuk menafsirkan “keimanan” dibuat dalam rangka untuk memperbaiki pendidikan kaum muda. Lihat catatan kaki 18.
37Kecenderungan ke arah kristianisasi di antara etnik Tionghoa di Indonesia bertumbuh dengan cepat selama masa pertengahan tahun 1960-an dan setelahnya, pertama-tama dengan cara masuk ke agama Katholik dan kemudian ke agama Protestan. Namun seperti telah disebutkan sebelumnya, kekuatiran besar mengenai perubahan ke Kristen di antara etnik Tionghoa telah diutarakan secara terus-menerus mulai awal abad ke-20 dan terutama pada akhir tahun 1930-an ketika pekabar injil etnik Tionghoa dan gereja mulai muncul. Kekuatiran ini sering diutarakan oleh para cendekiawan Peranakan dalam diskursus mereka tentang “bangsa” dan “tradisi” (Rees 1987: 48-61).
38Dilahirkan pada tahun 1930 di Bogor dengan nama Thio Liang Ik. Pada tahun 1977 ketika organisasi-organisasi “Tiga-Ajaran” di Jawa Timur dan Jawa Barat memasuki perundingan bersama, ia mewakili Jawa Barat dan kemudian terus bekerja di dalam Martrisia yang bersatu sebagai ketua Komisariat Daera DKI – Jawa Barat. Ketika Majelis Tridharma dibentuk, ia diangkat sebagai Ketua Dewan Pandita (Satyadharma 2004: 355-358).
39Meskipun PTITD tidak mengingkari hasil-hasil yang telah dicapai Kwee, orang yang diposisikan dan dianggap sebagai “Bapak Tri Dharma Indonesia (印尼教之父) adalah Ong Kie Tjay, pendiri PTITD. Majelis Tridharma di Jawa Barat juga tidak mengabaikan sumbangan-sumbangan Ong; faktanya sampai tingkat tertentu ia dihormati sebagai penyelamat klenteng-klenteng selama masa sulit di bawah rezim Soeharto.
40Lihat Catatan kaki 21.
41Buku ini, yang diedit oleh Tjan K dan Kwa Tong Hay, dibuat dengan melakukan banyak revisi-revisi dari buku yang telah diterbitkan sebelumnya; Bidang Libang PTITD dan Martrisia Jawa Tengah, 2007, Pengetahuan Umum tentang Tri Dharma, Semarang: Benih Bersemi.
42Tidak ada informasi yang dicantumkan di dalam buku mengenai redaktur atau tahun penerbitan, tetapi isi buku ini hampir sama dengan buku yang diterbitkan sebelumnya di Semarang; E. Setiawan dan Kwa Tong Hay eds. 1990, Dewa-Dewi Kelenteng, Semarang; Yayasan Kelenteng Sampookong Gedung Batu.
43Kwa dikenal sebagai alih tradisi-tradisi Tionghoa. Ia sering diwawacarai oleh media dan memainkan peranan sentral dalam kelahiran kedua buku yang disebutkan di atas.
44Namun, sebagaimana disebutkan oleh Watson sendiri, argumentasinya bahwa orang Tionghoa cendurung mementingkan “praktek/ upacara (bentuk)” daripada “ideologi/ kepercayaan (isi)”, hanyalah sebuah hipotesa yang ia sajikan demi maksud diskusi. Juga kita tidak bisa menganggap bahwa status “Agama Tionghoa” di China lebih kurang sama dengan yang ada di Indonesia, yang telah sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan politik setempat.
45Sehubungan dengan jenis pandangan yang sinis ini, sebuah teori yang sering ditemukan yang mengatakan “sifat alami etnik Tionghoa” seperti dinyatakan dalam peribahasa “lebih baik menjadi kepala ayam daripada ekor kerbau”, merupakan alasan organisasi-organisasi ini mencari jalur independen masing-masing (cf. Tsuda 2011: 303, 315-316). Disini saya tidak akan mendiskusikan keabsahan dari argumentasi bersifat esensialisme ini, tetapi patut dicatat bahwa jenis diskusi dimana “sifat alami etnik Tionghoa” ditegaskan ketika mengkritik banjirnya ciptaan-ciptaan organisasi-organisasi keagamaan baru, telah terjadi pada tahun 1920-an Rees 1987: 51).
Referensi
Coppel, Charles A. 1989. “«Is Confucianism a Religion?»: A 1923 Debate in Java.” Archipel 38: 125-35.
Duara, Prasenjit. 2008. “Religion and Citizenship in China and the Diaspora.” In Chinese Religiosities: Afflictions of Modernity and State Formation, edited by Mayfair Mei-hui Yang, 43-64. Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press.
Hasan, Noorhaidi. 2008. “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after Suharto.” Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 1: 23-51.
Ramstedt, Martin. 2004. “Introduction: Negotiating Identities - Indonesian ‘Hindus’ between Local, National, and Global Interests.” In Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests, edited by Martin Ramstedt, 1-34. London & New York: Routledge Curzon.
Rees, Michonne van. 1987. “The Sam Kauw Hwee and Christian Conversion amongst the Peranakan Chinese in Late Colonial Java,” Master diss., the Department of Indian and Indonesian Studies, University of Melbourne.
Rees, Michonne van. 1989. “Kwee Tek Hoay dan Sam Kauw Hwee.” In 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena, edited by Myra Sidharta, 257-273. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Salmon, Claudine and Anthony K.K. Siu eds. 1997. Chinese Epigraphic Materials in Indonesia, Volume 2: Java, (under the direction of Wolfgang Franke). Singapore: South Seas Society, Paris: EFEO, Archipel.
Satyadharma, M.P. Sasanaputera. 2004. Permata Tridharma. Jakarta: Yasodhara Puteri.
Tsuda Koji. 2011. Kajinsei no Minzoku-shi: Taisei-tenkanki Indonesia no Chiho-toshi no Field kara. Kyoto: Sekaishisosha. [津田浩司. 2011. 『「華人性」の民族誌―体制転換期インドネシアの地方都市のフィールドから』, 世界思想社].
Tsuda Koji. 2012a. “Chinese Indonesians who Study Mandarin: A Quest for ‘Chineseness’?” In Words in Motion: Language and Discourse in Post-New Order Indonesia,edited by Keith Foulcher, Mikihiro Moriyama and Manneke Budiman, 191-211. Singapore: NUS Press.
Tsuda Koji. 2012b. “The Legal and Cultural Status of Chinese Temples in Contemporary Java.” Asian Ethnicity 13(4): 389-398.
Watson, James L. 1988. “The Structure of Chinese Funerary Rites: Elementary Forms, Ritual Sequence, and the Primacy of Performance.” In Death Ritual in Late Imperial and Modern China, edited by James L. Watson and Evelyn S. Rawski, 3-19. Berkeley: University of California Press.
Yang, Mayfair Mei-hui. 2008. “Introduction.” In Chinese Religiosities: Afflictions of Modernity and State Formation, edited by Mayfair Mei-hui Yang, 1-40. Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press.
Sumber Primer
Martrisia Komda Jateng (Majelis Rohaniwan Tri Dharma Seluruh Indonesia Komisariat Daerah Propinsi Jawa Tengah). 2007. Penataran Dharma Duta Tri Dharma, 23-24 Juni 2007.
Oei Bie Ing. n.d. Kelenteng Timur Kuno. Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma se-Indonesia.
Panitia Munas dan Kongres. 2006. Buku Materi Musyawarah Nasional PTITD se-Indonesia dan Kongres MARTRISIA, 28-30 November 2006, Surabaya.
Panitia Peringatan Hari Tridharma. 2009. Peringatan Hari Tridharma Kwee Tek Hoay 1886-2009, 2 Agustus 2009, Bekasi. Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia.
Yayasan Dwi Kumala Rembang. n.d. Daftar Sesaji Sembahyangan untuk Klenteng “Tjoe Hwie Kiong” dan Klenteng “Hok Tik Bio.”