KEBAJIKAN TERUNGGUL
by Ardian Cangianto
Dalam Daode jing bab 38 membahas shangde 上德 dan xiade 下德. Seringkali diterjemahkan
sebagai kebajikan terunggul dan kebajikan rendah.
Umumnya beranggapan bahwa yang dimaksud kebajikan terunggul
itu adalah sikap yang sesuai dengan aturan atau juga kadang diartikan selaras
dengan Dao. Dao ( jalan ) sebagai tolok ukur dalam menilai kebajikan terunggul
itu.
Apa yang dimaksud kebajikan terunggul itu adalah suatu sikap
melaksanakan kebajikan dengan sikap spontanintas; tidak memiliki niatan apapun
selain tindakan tanpa niat. Dalam bahasa keseharian adalah sikap langsung tanpa
tendeng aling. Seperti kita saat mengemudi secara reflex menginjak rem saat
melihat orang menyebrang. Tak ada pikiran terlintas dalam kesadaran kita bahwa
saat ada orang menyebrang itu harus menginjak rem. Semua secara spontan
dilakukan.
Tindakan spontan saat menolong orang atau melaksanakan
kebajikan ini sulit dilihat dengan mata biasa. Karena saat kita membantu orang,
siapa yang tahu niatan atau pikiran yang terlintas dalam diri kita. Saat kita
menyumbang beras untuk upacara sembahyang cioko misalnya. Ada yg menyumbang 1
ton beras dan 1 kg beras. Orang terpaku pada niatan atau pada jumlah ? Ada
orang yang terlihat menolong orang lain tanpa pamrih atau tidak menerima materi
kemudian dipuji sebagai orang yang berjiwa penolong. Kita terpaku pada kata “materi”
belaka sebagai tolok ukur ketulusan orang. Sedangkan Shangyang seorang filsuf
jaman dahulu mengatakan semua niatan manusia itu mengarah pada dua hal. Yakni
nama ( kekuasaan ) dan materi.
Pandangan masyarakat tentang menolong orang lain akhirnya
dikategorikan menjadi dua tolok ukur utama. Yaitu imbalan dan tiada imbalan.
Coba kita amati secara seksama betapa banyak orang yang menolong org lain dalam
lingkup agama. Apakah mereka memohon imbalan ? Jawabannya bisa ya bisa tidak.
Tapi perlu digaris bawahi bahwa saat dalam lingkup agama itu manusia lebih
banyak mau melakukan kebajikan dibanding diluar lingkup agama. Apa yang saya
maksud adalah mereka mau berdana luar biasa atas nama agama. Disini bisa saya
katakan bahwa apa yang dilakukan bukanlah kebajikan terunggul ( shangde ) tapi kebajikan biasa ( xiade ). KEbajikan biasa adalah
kebajikan yang dibentuk dengan niatan atau keinginan. Bisa dengan timbal balik
materi, kekuasaan, nama atau juga balasan dari yang maha kuasa.
Kebajikan terunggul adalah kebajikan yang dilakukan karena
dasarnya hanya kata “bajik” saja tidak melekat pada berbagai macam niatan atau
juga procedural proses pelaksanaan kebajikan. Dan bentuk-bentuk kebajikan itu
yang dimaksud oleh Laozi dengan 上德不德,是以有德. Adalah mereka
yang melakukan kebajikan itu dengan tanpa niatan tanpa keinginan. Dan belum
tentu kebajikan itu bersifat luar biasa dan menggegerkan dunia. Bisa saja
kebajikan yang “sederhana”, seperti seorang ibu merawat anaknya tanpa
pamrih. Sang ibu melakukan itu karena
itulah sifat ibu, hanya itu saja tiada embel-embel lain. Itulah yang disebut
selaras dengan TAO tapi tidak selalu harus sesuai dengan tao ( aturan atau
jalan ). Kebajikan sang ibu itu adalah ekspresi kasih sayang. Karena ekspresi
kasih sayang itu tidak bisa dideskripsikan dengan berbagai aturan. Semakin
banyak aturan yang digunakan untuk mendeskripsikan kasih sayang maka semakin
rumitlah untuk melakukan kebajikan sehingga terjebak pada kebajikan biasa.
Mereka yang saat diajak melakukan kebajikan terus terjebak pada
batasan-batasan yang dibuat oleh berbagai aturan maka orang itu sulit mencapai
DAO. Apa itu batasan ? Sebagai contoh ketakutan saat mendoakan orang lain
seolah-olah si pendoa harus menanggung karma buruk orang lain. Jika ini yang
melekat dan sebagai kebenaran maka dapat saya katakan bahwa “dewa” itu tidak
adil karena niatan itu terjebak oleh “ketakutan”. Sesungguhnya untuk bisa
mencapai kebajikan terunggul itu juga harus disertai latihan-latihan diri.
Seperti misalnya saat melakukan ritual malam itu juga sedang melaksanakan
kebajikan dengan mendoakan para mahluk yang sengsara bisa mendapat kebahagiaan.
Atau juga membiasakan diri mendoakan dunia, mahluk-mahluk lainnya bahagia ( Sabbha
Bhanvatu Sukhitata ). Dengan menanamkan mindset ini maka kita sedang melangkah
untuk belajar secara spontan “kebajikan
terunggul” itu.
Jadi sunggu tidak elok jika kita juga terjebak pada definisi
kebajikan atau mencoba mendeskripsikan apa itu kebajikan sehingga menjadi ruwet
dan rumit. Sederhana saja, “Just Do It” bukan “just duit”.
No comments:
Post a Comment